Beberapa waktu lalu, ada pemberitaan yang menghebohkan publik. Disebutkan ada serbuan 10 juta tenaga kerja asal Tiongkok masuk ke Indonesia. Selidik punya selidik, pemberitaan itu ternyata tidak benar. Karena yang benar adalah, 10 juta wisatawan yang masuk ke Indonesia. Apa dampak dari pemberitaan yang tidak benar ini? Masyarakat menjadi khawatir dan daya saing pekerja kita menjadi lemah. Hal diatas merupakan contoh kecil saja yang terjadi. Akhir-akhir ini, berita palsu juga dimasukkan dalam sektor agama. Akibatnya, sebagian masyarakat mudah terpancing dan berpotensi menjadi konflik sosial. Contohnya adalah, pembakaran tempat ibadah yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Semuanya itu terjadi karena terpengaruh berita palsu.
Penyebaran berita palsu ini begitu mengkhawatirkan publik. Perlu langkah yang nyata, untuk meredam peredaran berita palsu ini. Kenapa perlu diredam? Karena berita palsu ini sama halnya dengan fitnah. Negara bisa hancur karena terus difitnah. Keberagaman, persatuan dan kesatuan terancam terbelah-belah, karena masyarakatnya diarahkan untuk saling membenci. Padahal, menurut agama, fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Penyebar berita palsu sengaja menipu dan bertujuan menghancurkan orang. Karena itulah, wajib kiranya untuk melawan berita palsu ini. Bahkan, negera seperti Jerman, juga begitu serius melawan berita palsu ini, karena dianggap bisa merusak sistem demokrasi negara mereka.
Jika para pembuat berita palsu menyatakan hal ini bagian dari kebebasan berekspresi, hal ini tentu salah total. Karena hoax jelas bukan bagian dari kekebasan berpendapat dan ekspresi. Hoax justru bagian dari pidana, karena mempunyai niat buruk dibalik penyebaran berita palsu tersebut. Apalagi, berita palsu yang muncul akhir-akhir ini juga berisi tentang agama. Hal ini bisa dengan mudah membuat orang marah, karena sengaja membangkitkan sentimen agama. Dalam pilkada DKI misalnya, sentimen agama sempat muncul dan berujung pada aksi 411 dan 212, serta penetapan sejumlah orang menjadi tersangka, karena sentimen agama.
Dampak buruk yang muncul akibat berita palsu ini begitu nyata. Kelompok radikal seringkali menggunakan sentimen agama, untuk menyebarkan berita palsu. Sentimen ini tentu dimaksudkan untuk membuat suasana penuh kekhawatiran. Teror tidak hanya terjadi di dunia nyata. Teror di dunia maya begitu nyata terlihat. Masifnya berita palsu ini merupakan bagian dari teror dunia maya itu sendiri. Ingat, ajaran agama tidak pernah mengajarkan untuk menipu atau berbohong. Orang tua dan guru kita pun juga tidak pernah mengajarkan berbohong. Mari gunakan kepandaian kita, untuk membangun negeri ini menjadi negeri yang toleran. Jangan gunakan kepintaran kita, untuk mengadu domba orang lain melalui berita palsu.
Dalam beberapa hari terakhir ini, muncul gerakan anti hoax, untuk memberikan pembelajaran bagi masyarakat. Bahwa masyarakat harus menjadi pembaca yang cerdas dalam merespon setiap informasi atau peristiwa. Bentuk dari kecerdasan itu, kita harus cek ricek mengenai informasi yang dimaksud. Pastikan situs penyebar berita tersebut terdaftar. Jika informasi tersebut diberitakan oleh situs yang tidak jelas, maka kita patut curiga bahwa berita tersebut tidak benar. Dan yang paling sederhana adalah, gunakan logika kita untuk menyikapi berita palsu. Jika berita palsu itu tidak sesuai dengan logika, kita patut curiga validitas dari berita tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI