Suatu hari saya mendapat tawaran dari seorang pejabat HRD sebuah rumah sakit, tawaran panggilan sebagai JBI (Juru Bahasa Isyarat). Â Pihak HRD manajemen RS mengetahui saya seorang ketua pengurus yayasan disabilitas ABK UMKM (Yayasan Griya Bina Karya Anak Berkebutuhan Khusus) yang lantas meminta saya bersedia tanda tangan kontrak sebagai JBI panggilan.Â
Honor per panggilan adalah Rp150.000,- sesuai budget RS.  Saya sudah coba tawari teman yang bekerja sebagai JBI lebih senior dan rata-rata meminta Rp1.000.000,-/panggilan.  Panggilan pun hanya bila urgent case pasien tuli lho, tidak ngantor di RS.Â
Atas desakan untuk segera tanda tangan kontrak, sementara saya belum menemukan teman JBI lebih senior yang bersedia sesuai jumlah budget RS, dengan mengucap "Bismillah" saya tanda tangani kontrak tersebut. Â Bukan nilai uangnya, namun unsur pelayanan di dalamnya yang menjadi misi saya. Â Semua tindakan atas dasar kapasitas saya sebagai Ketua Pengurus ABK UMKM.Â
Suatu saat saya ditegur oleh JBI senior bahwa saya belum pantas menjadi JBI dan tanda tangan kontrak dengan RS, karena jam terbang saya yang masih imut. Â Lantas saya jelaskan bahwa budget RS hanya Rp150.000,-/panggilan dan JBI hanya hadir bila ada panggilan, JBI senior itu tertegun dan berkata: "Murah sekali. Â Padahal buat akreditasi RS. Â Kok Ibu mau?".
Saya terheran... bagi saya menjadi JBI adalah pelayanan sekaligus membantu teman tuli untuk berinteraksi dengan teman dengar. Â Saya berpengalaman sebagai dosen selama 14 tahun dan narasumber berbagai event disabilitas, terbiasa berimprovisasi dengan daya kemampuan dan apa yang saya miliki saat ini. Â
BERBAHASA ISYARAT DENGAN TULUS, EMPATI DAN KASIH
Memakai Bahasa Isyarat juga berarti berkomunikasi dengan mereka yang tuli melalui isyarat, mimik, gesture, gerak bibir dan yang utama KETULUSAN, EMPATI dan KASIH.  Bukan sekedar kelincahan jemari tangan sesuai sistem Bisindo, Sibi atau ASL dan lain-lain, lha wong tiap daerah dan negara Bahasa Isyaratnya khan berbeda-beda. Kita dapat gunakan segala daya kemampuan kita agar teman tuli dapat mengerti dan mengekspresikan keinginan mereka, melalui isyarat tangan, gerak bibir, mimik dan gesture tubuh.
Sekedar flashback pada tahun 2015 saya pernah memisahkan diri dari rombongan Papua Weeks saat lawatan ke Jepang selama 15 hari. Â Saya melakukan perjalanan sendiri selama 2 hari di Yokohama dan Nara. Â Saya kemana-mana sendiri di ruang publik yang saat itu semua informasi publik mayoritas berbahasa Jepang dan jarang yang bisa berbahasa Inggris. Â Alhasil saya gunakan semua daya upaya saya untuk berkomunikasi dengan penduduk lokal Yokohama dan Nara. Â Alhamdulillah tiada masalah, yang penting percaya diri banyak jalan dalam berkomunikasi dengan syarat utama Ketulusan, Empati dan Kasih.Â
DIBAKUKAN DAN DIPERKENALKAN SEJAK USIA DINI
Teman saya yang lama tinggal di Washington, D.C. bercerita bahwa di Amerika Serikat Bahasa Isyarat sudah diperkenalkan sejak dini di sekolah yakni sejak anak masuk TK (kindergarten). Â Anak-anak diajari menyapa dan berempati pada teman tuli dengan belajar sapaan sederhana yang memberi kehangatan dan perasaan dicintai tanpa diskriminasi.Â