Mohon tunggu...
Istudiyanti Priatmi
Istudiyanti Priatmi Mohon Tunggu... Freelancer - Fortiter in re, suaviter in modo (Claudio Acquaviva, SJ)

Pendonor darah sukarela dan terdaftar sebagai pendonor kornea mata. Founder: ABK UMKM (Yayasan Griya Bina Karya Anak Berkebutuhan Khusus), KRESZ-KRESZ INDONESIA (Green Juice, Sayur Hidroponik, Bloom and Grow POC). Lulusan Magister (S2) Hukum Bisnis UI, S1 Fakultas Ekonomi UI dan Tarakanita. E-mail: v.istudiyanti.priatmi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasus Janda Meggy: Masa Iddah dan Perspektif Gender

22 September 2020   18:39 Diperbarui: 22 September 2020   19:14 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Satu Bulan Resmi Cerai dengan Kiwil, Meggy Wulandari Sudah Nikah Lagi?", demikian bunyi berita di media televisi dan online yang saya baca.

Bila mencermati kasus Meggy v Kiwil, maka kita harus mengacu pada keputusan Pengadilan Agama Cibinong, Jawa Barat, yang mensahkan perceraian Meggy dan Kiwil sejak 10 Agustus 2020.

Di tanggal ini yang merupakan tanggal jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, lantas menjadi titik penting dimulainya perhitungan masa iddah. Ditengarai Meggy telah melangsungkan pernikahan di tanggal 19 September 2020, artinya 50 hari bercerai Meggy sudah melaksanakan perkawinan dengan lelaki lain.

Dalam berita, artis tersebut menyatakan perkawinannya adalah resmi. Publik yang kepo lantas bertanya-tanya, "Kok bisa yaa, khan belum selesai masa iddah, belum 3 bulan atau sekurang-kurangnya 90 hari?" Hal ini sejalan dengan aturan masa iddah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku umum dan luas di Indonesia.

Masa Iddah adalah waktu tunggu atau iddah bagi seorang istri yang putus perkawinannya, demikian KHI pasal 153 ayat (1). Sementara masa iddah atau waktu tunggu diatur dalam ayat (2) sebagaimana berikut:

Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

  • Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
  • Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari.
  • Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
  • Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Dengan aturan masa iddah di atas, maka seorang pria dilarang menikah dengan perempuan yang masih berada dalam masa iddah. Sementara ayat (4) menyatakan: bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

Kompilasi Hukum Islam dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991 berdasar Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Presiden yang menandatangani adalah bapak Soeharto berdasar Loka Karya para Alim Ulama Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 -- 5 Februari 1988 yang terdiri dari 3 buku yaitu:

  • Buku I tentang Hukum Perkawinan;
  • Buku II tentang Hukum Kewarisan;
  • Buku III tentang Hukum Perwakafan.

Dinyatakan bahwa KHI dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah sesuai 3 buku di atas. Tidak terdapat ancaman pidana atau perdata atas penyimpangan pasal-pasal dalam KHI.

KHI pasal 153 ayat (2) memang menyatakan masa iddah janda adalah 3 kali masa suci (sedang tidak menstruasi) atau sekurang-kurangnya 90 hari. Bagi janda yang sudah tidak menstruasi, karena sebab menopause atau sebab gangguan hormonal /penyakit adalah 90 hari. 

KHI merupakan pedoman bagi permasalahan perkawinan di Indonesia, namun pasal 153 tidak menjelaskan detil, apakah proses cerainya talak atau gugat cerai.

Mengapa proses cerai menjadi penting dalam case Meggy? Meggy mendaftarkan gugatan cerainya atas suaminya, yang berarti perceraian terjadi karena gugatan istri atau biasa disebut dengan "gugat cerai" Menyimpangi pasal 153 KHI, terdapat dalil dalam hadist HR Abu Daud dan Tarmidzi tentang masa iddah janda yang menggugat cerai atau ditalak 3 yaitu masa iddah hanya 1 kali menstruasi yang menyatakan: " Wanita yang dicerai dengan 3 kali talak (baca: talak 3), masa iddahnya sekali haid". 

Sementara bagi perempuan yang menggugat cerai suaminya, ada yurisprudensi case, yakni: "Dari Ibnu Abbas ra bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai dari suaminya di zaman Nabi. Lalu Nabi memerintahkan untuk menunggu sekali haid". 

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan Meggy menggunakan dalil di luar KHI dan hal ini dimungkinkan, mengingat KHI sebagaimana instruksi presiden dinyatakan hanya "agar dapat digunakan sebagai pedoman" untuk menyelesaikan masalah seputar perkawinan, waris dan wakaf. 

Frase di atas tidak menimbulkan adanya pemidanaan atas penyimpangan pasal-pasal dalam KHI. Sebagai bagian dari hukum perdata, maka hukum perkawinan mengacu pada hukum perjanjian, yang mana itikad baik kedua belah pihak menjadi hal yang utama.

PERSPEKTIF GENDER TENTANG MASA IDDAH
Masa iddah adalah istilah untuk kaum perempuan Islam (muslimah). Dalam bahasa Arab "Iddah" artinya waktu menunggu dimana seorang perempuan telah diceraikan oleh suaminya, baik cerai mati atau cerai hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain. 

Iddah wajib hukumnya bagi perempuan meski ada hadist yang menyatakan adanya pengecualian, misalnya perempuan yang dinikahi namun belum pernah berhubungan badan, maka tidak memiliki masa iddah.

Hikmah Masa Iddah:

  • Memberikan kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.
  • Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan. Untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi di dalam kandungannya, agar menjadi jelas siapa ayah dan bayi tersebut.
  • Penghargaan terhadap hubungan suami istri, sehingga istri tidak langsung berpindah kecuali menunggu dan diakhirkan.

Hak-hak perempuan dalam masa iddah adalah menjadi tanggungan suami yang wajib memenuhinya sampai masa iddah selesai, yaitu:

  • Istri yang menjalani masa iddah karena ditalak raji' (dapat dirujuk kembali) atau istrinya terkena talak ba'in (tidak dapat rujuk kembali) yang sedang hamil, apabila terjadi salah satu hal tersebut di atas maka ia berhak mendapatkan tempat tinggal, pakaian, dan nafkah dari suami yang menceraikannya selama masa iddahnya.
  • Istri yang dalam masa iddah dikarenakan suaminya wafat, maka ia hanya mendapat hak waris, walaupun sedang hamil .
  • Wanita yang dicerai dengan talak ba'in (tidak dapat rujuk kembali) atau talak tebus (khulu'), maka baginya hanya mempunyai hak tempat tinggal saja dan tidak yang lainnya.

Bagi sebagaian kaum feminis, isu seksualitas dan reproduksi merupakan isu sensitif yang mana merupakan wilayah pribadi perempuan. Pemberlakuan masa iddah yang dihubungkan dengan masa reproduksi perempuan, hakekatnya bagian dari dominannya sistem patriarkal yang membatasi ruang gerak perempuan. Ruang gerak hanyalah sebatas radius kasur, sumur dan dapur. Perempuan digambarkan sebagai sosok inferior dari dunia kaum lelaki yang superior.

Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, MA dalam Pedagogi Feminisme dalam Perspektif Islam menyatakan bahwa istri tidak punya hak menceraikan suami meskipun ia diperlakukan tidak manusiawi, dan jika diceraikan suaminya maka ia harus menjalani masa iddah sebelum bisa menikah lagi dengan laki-laki lain.

Dalam masa iddah itu suami dapat rujuk kapan saja, tanpa perlu persetujuan istri. Jika suami wafat, maka istri harus menjalani masa iddah sekaligus masa ihdad (berkabung).

Selanjutnya Musdah Mulia menyatakan sebagian besar ajaran Islam tentang feminism, terutama yang menyinggung soal relasi gender, seperti perkawinan, pewarisan, ketentuan berbusana dan isu kepemimpinan masuk kategori ijtihadi, relatif, tidak abadi dan bisa berubah seiring dengan perubahan dinamika masyarakat dan perkembangan sains dan teknologi.

Untuk itu diperlukan keberanian dan ketulusan hati untuk membaca ulang dan melakukan upaya-upaya dekonstruksi atas hasil ijtihad atau penafsiran lama yang dinilai bias gender dan bias nilai-nilai patriarki. 

Penafsiran baru atas teks-teks keagamaan mendesak dilakukan untuk menemukan kembali pesan-pesan moral yang hakiki dan universal, seperti pesan persamaan, persaudaraan , kebebasan, kesetaraan dan keadilan termasuk di dalamnya kesetaraan dan keadilan gender.

OOOoooOOO

Referensi:

  • www.jurnalperempuan.org, Prof. Musdah Mulia: Pedagogi Feminisme dalam Perspektif Islam
  • Kompilasi Hukum Islam
  • Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
  • Republika.co.id
  • Wikipedia
  • Liputan6.com
  • KapanLagi.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun