Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terbanglah Camar (V)

30 Oktober 2022   11:45 Diperbarui: 31 Oktober 2022   12:15 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terbanglah camar | Foto: Wirestock/Freepik

Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca empat bagian sebelumnya: Terbanglah Camar (I), Terbanglah Camar (II), Terbanglah Camar (III), Terbanglah Camar (IV)

Entah berapa lama kemudian Fanny baru membuka mata. Dilihatnya seorang pemuda seusia Geld, mengenakan jas putih.

Dokter! Fanny tahu, orang ini memiliki obat dan cara untuk menyembuhkannya. Fanny juga tahu, orang ini memiliki obat dan cara untuk menamatkan riwayatnya.

Fanny merasa alternatif yang kedua adalah yang terbaik baginya. Bukankah lebih baik mati daripada hidup sementara kehidupan tidak mau bersahabat dengan kita?

Tetapi dokter yang jahat itu tidak mau menolongnya. Dokter yang sok tahu itu bahkan ingin membantunya menemukan kembali gairah hidup. Bah!

Tidak tahukah dia bahwa gadis malang ini tidak akan menemukan gairah hidup lagi? Tidak tahukah dia bahwa satu-satunya orang yang sanggup membuat Fanny merasa hidup, kini telah mati?

Fanny menghela nafas panjang lalu mengusap matanya yang basah dengan punggung tangan. Ditatapnya langit biru yang cerah itu.

Adakah di sana masih tersembunyi pengharapan baginya? Ah, kalau saja ia masih boleh berharap, maka satu-satunya yang ia harapkan adalah segera mati supaya bisa bertemu dan bersama-sama Geld lagi.

Tetapi dokter yang jahat itu bukan saja tidak mau membantunya menempuh jalan kematian. Dia bahkan memerintahkan suster untuk terus-menerus menjaganya. Fanny benci. Sangat benci!

"Selamat siang."

Fanny menoleh dengan malas. "Saya tidak mau disuntik, dokter. Biarkan saya mati."

Peter tersenyum sambil mengangkat bahu. "Nona manis, kematian tidak perlu dikejar. Kalau sudah tiba saatnya, malaikat maut akan datang sendiri."

"Kalau saya ingin mati sekarang?"

"Orangtuamu tentu sedih."

"Orangtua? Orangtua yang mana?" Fanny tertawa sinis.

Tawanya semakin menjadi ketika ia melihat perubahan wajah Peter. 

"Bingung? Aku sendiri juga bingung. Sejak usaha papa maju, aku punya mama yang kedua, ketiga, keempat. Dan mama rupanya penganut emansipasi yang membabi buta. Mama ikut wiraswasta, buka butik, buka salon. Sekarang, aku punya papa yang kedua, yang ketiga. Yang terakhir ini umurnya malah sebaya dengan aku."

Susah payah Peter menyembunyikan rasa kagetnya. Ia lahir dalam keluarga yang harmonis, penuh kehangatan kasih, dan selalu rukun.

Ketika usia remaja dan mulai mengenal asmara, ia mempersembahkan kepada gadisnya cinta yang putih, memberinya kasih yang suci. Gadis yang dikasihinya itu membalas dengan cinta kasih yang sama.

Ia hidup di tengah orang-orang yang betul-betul mengasihi dan dikasihinya, dalam lingkungan yang penuh pengertian dan kedamaian. Istilah-istilah broken home, broken heart, hanya dikenalnya dalam cerita.

"Tidak ada yang sedih kalau saya mati, dokter. Dokter tidak perlu lagi berusaha menyembuhkan saya sebab hal itu akan menambah beban orangtua saya. Sebaiknya dokter bunuh saya saja. Jika saya mati, itu artinya berkurang seorang anak terlantar yang harus disumbang orangtua saya setiap bulan. Secara tidak langsung, dokter juga membantu meringankan beban mereka, bukan?"

"Sahabatmu?"

"Geld sudah pergi. Aku yang membunuhnya. Aku harus menebus dosa itu dengan nyawaku. Aku ..."

"Tenang, Fanny." Peter memegangi tubuh kurus yang memberontak itu. "Aku?"

"Dokter?" Fanny menatapnya dengan heran. "Ada apa dengan dokter jika saya mati?"

"Kalau aku turuti permintaanmu untuk mengakhiri hidupmu, aku akan dikejar oleh perasaan bersalah seumur hidup."

"Kalau dokter membiarkan aku bunuh diri?"

"Aku akan tetap dikejar perasaan berdosa karena membiarkan seorang gadis manis tenggelam dalam jurang keputusasaan sehingga membunuh sendiri sebuah pengharapan yang seharusnya dia miliki."

Fanny terpaku. Ditatapnya Peter dengan rasa tidak percaya. Rasanya, Geld tiba-tiba hidup kembali dalam diri Peter.

"Tabah ya, Fanny. Pandanglah langit, belajar darinya. Biarpun saat ini kamu merasa kabut hitam menyelimuti hidupmu, cobalah memandang hari esokmu yang cerah. Secerah langit biru itu. Kamu harus tetap hidup, demi hari esokmu."

Fanny memandang Peter dengan terpesona. Ia tidak lagi menolak ketika dokter itu menusukkan sebatang jarum ke tubuhnya.

***

Bersambung: Terbanglah Camar (VI - Tamat)

Siska Dewi untuk Inspirasiana

Cerpen ini telah dimuat di Album Cerpen "Mitra" edisi khusus September 1985

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun