Setiap pasangan memiliki alasan yang berbeda ketika mereka memutuskan untuk hidup dalam satu ikatan pernikahan. Pernikahan merupakan hubungan dua insan (laki-laki dan perempuan) yang terikat dalam satu janji suci di hadapan Sang Pencipta.
Menikah berarti berkomitmen untuk hidup berdampingan dan memadukan visi menjelang masa depan. Salah satu tujuan pernikahan pada umumnya adalah memperoleh keturunan. Hadirnya keturunan menjadi pelengkap kebahagiaan setiap pasangan.
Anak adalah Anugerah
Anak adalah suatu bentuk berkat yang pada umumnya diidam-idamkan oleh pasangan suami istri yang baru saja menikah. Sayangnya, tidak semua pasangan mendapat karunia yang sama. Ada yang mendapatkan dalam waktu singkat, namun tak jarang ada yang menanti dalam waktu yang panjang.
Dalam hal inilah kita mengakui secara sadar, hanya Tuhan yang berkuasa menciptakan kehidupan dan menghembuskannya ke dalam rahim perempuan.
Anak perlu kita terima sebagai suatu anugerah. Menyadari bahwa tidak semua wanita dapat mengandung dan merasakan proses persalinan, maka sudah seyogianya anak diterima dengan rasa syukur dan bahagia.
Namun hal tersebut bukan berarti bahwa wanita yang tidak mengalami fase mengandung dan melahirkan tidak diberi anugerah. Karena seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa setiap pasangan memiliki tujuan hidupnya masing-masing. Selain itu, kita tidak pernah mengetahui detail rencana Sang Ilahi yang teperinci dan presisi.
Memandang Anak Sebagai Titipan Bukan Pemberian
Dalam merespons kehadiran buah hati di tengah-tengah kehidupan keluarga sebaiknya tidak dimaknai sebagai suatu pemberian namun sebagai suatu kepercayaan atau titipan. Mengapa? Sebab antara titipan dan pemberian sudah jelas memiliki arti yang berbeda.
Menurut KBBI titipan adalah sesuatu yang dititipkan. Dari kata dasar titip atau menitip supaya disimpan dan dirawat. Hal tersebut dapat diartikan bahwa titipan adalah suatu amanat yang harus dilaksanakan.
Orang tua tidak memiliki hak penuh untuk menguasai sesuai dengan kehendak hati. Amanat tersebut mencakup menjaga, merawat dan memelihara dengan sangat hati-hati karena suatu saat titipan dapat diambil oleh Sang Empunya untuk dimintai pertanggung jawaban.
Sementara itu, pemberian adalah sesuatu yang diberikan menjadi kepunyaan. Ada kecenderungan bahwa sesuatu yang telah diberikan menjadi milik dan hak kepemilikan tersebut dapat disalahgunakan. Tidak memiliki rasa tanggung jawab bahkan pemberian tersebut dapat menjadi sia-sia.
Anak Layaknya Sebuah Lahan
Menggambarkan kehadiran buah hati ibarat sebuah lahan kosong. Agar menghasilkan sesuatu yang berguna atau bermanfaat tentunya lahan tersebut tidak dibiarkan tidur, namun harus digarap. “Apa yang ditabur itulah yang akan dituai” merupakan ungkapan yang tidak asing di telinga kita.
Demikianlah didikan orang tua terhadap anak. Seperti halnya lahan kosong. Petani atau penabur ialah orang tua yang semestinya menaburkan benih-benih ajaran yang baik, memupuk dan menyiram dengan petuah kitab suci, dan menyianginya terhadap hama dan gulma yaitu individu-individu yang menyesatkan.
Harapannya, anak dapat tumbuh sehat baik jasmani maupun rohani. Dengan harapan suatu hari kelak orang tua akan menuai hasil yang baik yaitu seorang anak yang berprestasi, berguna dan menjadi berkat.
Mengasuh dan mengasah anak pun menjadi sebuah lahan pelayanan.
Mengapa? Sebab dengan melayani berarti merendahkan hati dan melepaskan kepentingan diri untuk mengurus, merawat, memperhatikan, mempedulikan dan membantu menyiapkan segala kebutuhan anak mulai dari bayi hingga dewasa dengan segala permasalahannya.
Melayani tentunya tidaklah mudah. Di sana ada kesabaran, ketekunan, pengorbanan, ketulusan bahkan cucuran air mata. Namun dengan berusaha dan berdoa tidak ada sesuatu yang sia-sia.
Sang Empunya Kehidupan tidak pernah salah dalam menitipkan anugerah-Nya. Ia mengenal setiap ciptaan-Nya. Ia tak pernah merancangkan kemalangan tetapi masa depan gemilang yang penuh harapan.
Radian Kristiani untuk Inspirasiana