Sejak obrolan pagi dengan Pak Lurah dan tamunya. Karsa terus berpikir, apa benar yang dikatakan mereka berdua. Bahwa, kawasan pergudangan akan menyedot bisnis lain ke desa ini. Pabrik, perumahan, pusat perdagangan dan akan mengancam area pertanian warga.
Kekhawatiran Karsa, semakin menjadi. Kala mendengar rencana tetangganya untuk mendirikan warung makan di depan proyek pergudangan tersebut. Itu artinya, ada satu atau dua petak sawah yang akan hilang.
Dalam hati, berat untuk menerima tawaran dari Pak Lurah. Namun, ia harus mengambil keputusan atau tidak mendapatkan apa-apa.
Sore hari, Karsa pergi ke balai desa. Terlihat sudah banyak petani berkumpul di sana. Pak Lurah belum terlihat, hanya ada Pak Martin duduk di dalam ruangan.
Pak Martin keluar ruangan dan menghampiri Karsa. Raut wajahnya terlihat senang, Ia sangat antusias melihat Karsa datang.
"Jadi bagaimana, Mas Karsa. Setuju dengan tawaran kami?" tanya Pak Martin.
"Sangat setuju, Pak Martin," jawab Karsa.
Obrolan mereka berdua, terhenti oleh kehadiran Pak Lurah dan Haji Sobri. Mereka langsung memasuki ruangan balai desa dan duduk paling depan. Karsa heran, kenapa Haji Sobri turut hadir.
Para petani lain, sudah duduk manis di dalam ruangan. Karsa dipersilahkan duduk di deretan depan bersama Pak Martin. Mereka menanti Pak Lurah untuk berbicara.
"Assalamualaikum, bapak-bapak dan ibu-ibu tani. Warga Desa Alas Kahuripan, yang terhormat. Kita berkumpul di sini dengan kesadaran dan persetujuan bersama."
Kata sambutan dari Pak Lurah tak begitu fokus ia simak, pikiran masih belum tenang. Karsa tak dapat membayangkan, nasib desanya ke depan. Namun ia sadar, perubahan adalah keniscayaan dan ia harus terlibat di dalam perubahan itu.