Potret pengajian Salafi
Jika Anda sedang jalan-jalan pagi di akhir pekan, dan kebetulan melintas masjid, mungkin akan bertemu beberapa masjid yang Sabtu-Minggu penuh dengan kegiatan. Di antaranya kajian atau pengajian. Memang tidak banyak masjid yang menyelenggarakan acara serupa.
Kajian akhir pekan? Ya, di Jakarta, Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, misalnya, ada beberapa masjid yang secara rutin menyelenggarakan pengajian secara rutin. Jika tidak rutin, maka itu sifatnya sesekali atau sebulan sekali. Misalnya, Anda bisa hadir di Masjid Nurul Iman di Lt paling atas Blok M Square, Masjid Al Falah di Jatinegara. Di situ acap kali ada pengajian akbar yang mendatangkan ustadz-ustadz dari luar kota.
Masjid yang mampu menampung hampir dua ribu jamaah itu, bisa penuh sesak di hari Ahad. Tergantung ustadz yang mengisi. Tapi, jangan berharap ada ustadz-ustadz yang hilir mudik di televisi akan mengisi di sana. Karena ini justru pengajian di luar mainstream. Di luar kebanyakan kaum muslim.
Ekslusif? Tidak juga. Pengajian seperti ini terbuka untuk umum, siapa saja boleh ikut dan tidak akan dikenakan biaya. Juga tidak perlu mendaftar. Ini juga bukan pengajian "dalam rangka"... Ya bisa dalam memperingati ini dan itu. Pokoknya, mereka datang untuk berburu ilmu. Berburu pahala dengan mendatangi halaqah ilmu.
Pengajiannya pun serius. Jarang ada gelak tawa, paling senyum-senyum. Para ustadz juga bukan seperti para orator atau juru kampanye yang berdiri dengan gaya menggerakan badan, tangan dan mimik aneka rupa. Semua sederhana. Pakaian ustadznya, tampangnya juga, sangat sederhana. Mereka hanya duduk. Tidak berdiri. Duduk di kursi meja, dan memegang kitab atau Laptop.
Yang hadir pun begitu. Mayoritas sederhana. Mereka rata-rata memakai pakaian koko atau gamis, berpeci, dan celana agak di atas mata kaki. Yang perempuan, jarang terlihat yang modis dengan jilbab gaul. Mereka justru memakai jilbab panjang hingga di pantatnya. Ada juga yang memakai cadar. Yang membuka muka, hampir tidak ada yang memakai gincu atau bedak yang menor.
Tapi, lihatlah ketika ustadz sudah mulai berbicara. Mayoritas  mengambil alat tulis layaknya anak SD yang tekun mencatat setiap omongan guru. Tidak ada lagu-lagu, tidak ada gimmick untuk memancing perhatian. Ustadz-ustadz juga tidak ada yang membaca Al Quran dengan nada melengking layaknya penyanyi.
Meski terkesan tidak menarik itu pengajian, tetapi jarang sekali orang yang beranjak dari acara. Sepanjang pengajian, hampir tidak  ada ustadz memberi cerita-cerita yang konyol dan lucu.  Malah mirip kuliah di kampus. Semua merujuk kitab, merujuk ayat Al Quran dan hadist-hadist yang shahih. Oh ya, rata-rata pengajian itu selama dua jam, plus tanya jawab 30 menit. Dan, semua pertanyaan selalu ditulis. Karena itu, ada pertanyaan yang mungkin terlihat sepele, tak perlu membuat malu penanya.
Inilah pengajian dari mereka kalangan Salafi. Apa itu Salafi? Ini bukan nama ormas, bukan pula komunitas. Ini adalah kumpulan orang-orang yang beragama dengan mengikuti cara beragama para Sahabat Nabi, Salaf artinya terdahulu, maka mereka ini berupaya untuk memahami dan mempraktekan agama Islam sesuai dengan yang dijalankan para Sahabat Nabi.
Mengapa harus bersusah payah  mengikuti Sahabat Nabi? Ya karena merekalah yang paling tahu bagaimana Nabi memberikan pelajaran, melihat langsung dan mempraktekan bersama Nabi Muhammad. Tak ada yang lebih tahu tentang Islam, (setelah Nabi)  selain para Sahabat Beliau.