Mohon tunggu...
Bayu Insani
Bayu Insani Mohon Tunggu... -

Mantan BMI HK. Ibu rumah tangga yang tak mau diam. aktif apa saja.....:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bocah Perempu dan Botol Air

10 Juni 2012   10:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:09 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13393234821046533637

Bocah Perempuan dan Botol Air

Bayu Insani

Suara tangis anak kecil itu, bukan satu atau dua kali aku mendengarnya. Tapi setiap hari. Bahkan santapan bagi telingaku di setiap malam. Kadang tangisnya lama, kadang juga hanya sesaat. Kadang suaranya keras, dan kadang hanya terdengar isaknya saja. Tergantung bagaimana kerasnya suara atau pukulan yang dia rasa saat itu. Ya, begitulah yang harus ia jalani selama ini. Dan yang membuat aku tertekan, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya. Seperti membela, ataupun hanya sekedar meleraikan tangisnya.

Jauh di dalam lubuk hati, jiwaku bagai terkoyak-koyak jika setiap kali mendengar isaknya. Ya, sebagai seorang ibu yang jauh dari anak semata wayangnya, aku merasa, situasi ini seolah membuat hatiku selalu dihujani paku. Selama ini, aku tak pernah sekalipun membentak putraku. Apalagi sampai memukulnya. Tidak! Dengar dan tidak, semua dengan suara, bukan dengan tangan dan kaki. Selain hal itu tak baik bagi fisiknya, juga bagi mentalnya kelak. Itu menurutku. Mungkin juga, karena aku jarang hidup bersama putraku, sehingga aku tak memiliki kesempatan untuk memarahinya seperti wanita itu.

Melihat bocah itu menangis, seolah aku melihat putraku juga sedang disakiti dan menangis sepertinya. Namun apalah dayaku, wanita itu lebih berhak terhadap masa depan dan kehidupan bocahnya. Bukan karena anak itu berada di dalam ruangan yang tertutup atau jauh dari jangkauanku. Bukan! Namun ada penghalang abstrak yang lebih kuat daripada hanya sebuah pintu dan tembok. Penghalang yang sangat jelas. Yang tak mungkin dengan mudah aku menembusnya.

Dan di setiap malam, aku hanya mampu menatap pemandangan ini dengan mengusap dada. Istighfar. Padahal saat pertama kali aku memasuki rumah ini, semua terlihat baik-baik saja. 1Semua [pramah dan terlihat bahagia. Namun seiring bergulirnya waktu, dan ketatnya persaingan hidup, persaingan pendidikan, semua menjadi berubah.

Saat siang, saat keadaan tak separah malam, terkadang aku bertanya pada wanita yang telah membuat bocah itu menangis. Dengan kaki yang dijulurkan ke atas meja, wanita itu menjawab,

“Kamu tahu, negeri ini membutuhkan manusia yang jenius, manusia-manusia yang pintar dan cekatan, serta manusia yang berotak encer. Bukan manusia-manusia yang selalu menggunakan otaknya untuk hal-hal yang remeh temeh.

Dan kamu juga tahu sendiri, persaingan di luar, sangatlah ketat. Aku tak mau kelak ia mengecewakanku. Mengecewakan dirinya sendiri, ataupun mengecewakan impian keluarga kami. Aku tak mau hal itu terjadi.  Sungguh, aku sangat takut!”  jawabnya. Mendengar itu, dalam hati aku berdalih.

“Namun bukan seperti itu cara mengajar anak. Dia masih terlalu kecil untuk diajar secara kemiliteran. Ia memiliki fisik yang harus dirawat, tak seperti robot. Dan dia punya otak yang harus diistirahatkan bukan diforsir. Intinya dia manusia, bukan manusia robot” kesalku. Apalagi jika mengingat kelakuan wanita itu sehari-hari. Dia hanya mampu ongkang-ongkang kaki, atau menontron drama serial di televisi. Bukankah itu juga hal yang tak berguna! Tak bekerja sedikitpun. Jangankan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti layaknya ibu-ibu. Memasak air saja dia tak mampu. Bahkan memotong kuku tangannya saja harus aku! Bukan dia tak bisa, tapi memang wanita itu pemalas luar biasa. Bisanya hanya nunjuk, dan marah. Ah, aku jadi benci melihatnya.

“Kamu tahu, mengapa aku berbuat demikian? Karena aku ingin, kelak dia menjadi manusia yang istimewa. Menjadi anak tunggal yang berprestasi bagi keluarga dan negara. Makanya, aku tak ingin tangisnya melemahkanku dari impian-impian kami” Kembali dia meneruskan jawaban atas pertanyaanku.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk, walau hati sedikitpun tak menyetujui ucapannya. Di depannya, aku tak mampu berkelit lidah. Maklum, siapalah aku di hadapannya. Makanya, aku selalu diam dengan semua perlakuannya selama ini. Aku benar-benar bagai manusia robot. Walau hakikatnya, jika aku berlalu dari hadapannya, otakku berontak. Namun apalah arti pemberontakanku jika aku sendiri bisu.

Dulu aku pernah mendengar ucapan nenek pada ibuku, sewaktu ibu memarahiku. Katanya, jika inginkan botol terisi penuh, maka kita harus mengisinya secara perlahan, bukan dengan cara menumpahkannya ke dalam. Ya, kini aku baru faham kata-kata nenek. Yang dimaksud dengan botol, adalah otak anak kecil, yang harus kita isi dengan cara perlahan. Sabar, dan bertahap. Tidak dengan cara memaksanya. Ah, mengapa aku baru mengerti sekarang ini, yah.

“Kamu ingat Mei-mei?” tanyanya padaku. Seketika, aku mengangguk.

“Karena dia! Karena dia aku harus menahan malu di depan keluargaku. Karena dia juga, anaku harus tersingkir dari juara satu” ucapnya. Mukanya mencerminkan kebencian yang luar biasa. Aku menggigit bibir menatapnya. Tak faham dengan sorot mata yang aneh itu. Padahal Mei-mei itu keponakannya sendiri. Tapi mengapa ia benci pada anak seusia anaknya itu.

Makan siang yang seharusnya enak, karena aku memasak sate ayam, jadi hambar. Wanita itu kembali memasuki ruangannya. Seperti biasa. Kakinya dinaikkan ke atas meja, sambil melihat drama-drama kesukaanya. Itulah rutinitas hariannya. Dan aku tak bisa berkata apa-apa lagi, kecuali mengunci mulut, sambil terus beraktifitas.

Pagi harinya, seperti biasa. Aku akan mengajar dia secara militer. Itu karena ibunya, yang menyuruhku. Berawal setelah subuh, aku akan membangunkan bocah itu, untuk segera ke sekolah. Terkadang aku merasa kasian padanya. Terlalu banyak kegiatan. Bangun pagi, sekolah hingga jam tiga sore. Istirahat hanya untuk makan siang sejenak, lalu kembali menekuri pekerjaan sekolahnya. Sepulang sekolah, dia harus kuantar ke tempat les, hinga jam enam. Setelah itu, kembali aku menjemputnya, hingga malam baru tiba di rumah. Sesampainya di rumah,  pun belum habis aktifitasnya. Dia harus mandi, dan makan malam. Makan pun harus cepat-cepat. Setelah makan, kembali dia harus menghadap orangtuanya untuk mengerjakan PR.

Rutinitas ini, tak pernah habis. Bahkan jika hari sabtu dan minggu, ada banyak lagi les-les privat lainnya. Seperti les piano, bahasa mandarin, inggris, olahraga pingpong, karate, dan lain-lain. Ayah bocah ini, pun sama. Sabtu dan minggu, dia yang akan membawanya ke tempat-tempat olahraga. Bahkan terang-terangan mengatakan padaku, inginkan anaknya menjadi pemain pingpong sedunia jika kelak besar. Maka dari itu, dia harus mencari guru untuk mengajar anak bermain pingpong.

Ah, mampukan otaknya dijejali dengan banyak pelajaran? Itulah pertanyaan yang selalu menclok di ubun-ubunku. Karena rasa sayangku padanya, maka jika tiba hari ulang tahunnya, atau jika aku telah memiliki sedikit uang gaji, maka aku akan segera sembunyi-sembunyi membelikan mainan atau makanan kesukaannya. Ya, terkadang dia bahagia dengan pemberian-pemberian dariku. Seperti mainan, boneka, jajan, permen, dan lain-lain.

Namun pernah, kejadian tak mengenakkan terjadi setelah wanita itu tahu, aku membel ikan mainan untuk anaknya. Bukan senang, malah berbuah malametaka bagi kami berdua. Bagaimana tidak!. Ketika waktunya dia menggarap PR, ternyata ketahuan sedang menciumi boneka kesukaannya dariku. Maka tak tanggung-tanggung, si ibu merebutnya dengan geram, hingga kami semua ketakutan luar biasa. Tak cukup dengan merebut, namun juga mencampakan boneka itu hingga terpental jauh keluar rumah. Akhirnya, tamat riwayat boneka itu. Dan tamat riwayat hatiku untuk kembali memberikan sesuatu padanya.

Sambil menunjuk-nunjuk telunjuknya ke jidatku, dia muntab. Katanya, gara-gara boneka itu, anaknya jadi tak belajar. Anaknya jadi bodoh, karena malas mengerjakan PR. Intinya, dia tak ingin aku membelikan barang-barang kesukaannya. Akhirnya, setelah kejadian malam itu, aku tak pernah sekalipun membelikan mainan untuknya. Aku benar-benar trauma, dan tak inginkan airmata bocah itu kembali mengguyur pipinya yang lembut. Aku tak mau! Aku terlalu sayang padanya.

Namun entah mengapa, malam ini, semua menjadi terbalik. Terbalik menjadi seratus delapan puluh derajat. Malam ini, jika aku tak bisu, jika aku mampu membuka mulutku, ingin rasanya aku yang membuatnya trauma. Trauma untuk tak menunjuk telunjuknya ke jidatku, tak muntab pada kami, atau trauma agar tak mengisi air di botol dengan cara menumpahkanya. Aku ingin!

Namun, lagi-lagi hatiku sebagai sesama manusia berbicara. Kini, beban hidup yang harus ia terima, sangatlah berat. Bukan hanya dirinya, namun putri semata wayangnya. Putri yang seharusnya istimewa bagi keluarganya, yang menjadi perantara-perantara impiannya justru telah membuatnya menangis. Berat. Ya, itu kuketahui setelah malam ini, aku melihat ia menangis sejadi-jadinya, sambil keluar dari kamar. Ia menjerit memanggil-manggil namaku, sambil membopong tubuh putrinya, yang tak bergerak. Aku terperanjat, melihat wanita itu membopong putrinya. Aku terperanjat melihat bocah itu tak bergerak. Lalu dengan cepat, aku menelpon pihak rumah sakit. Itu yang kurasa. Sebab di Negari Beton ini, panggilan untuk gawat darurat itu sama, 999. Namun sayang, justru yang datang tak lama kemudian, malah aparat kepolisian. Semua menjadi kalang kabut. Karena bocah itu tak lagi bergerak, maka pihak kepolisian pun segera bertindak. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun