Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada hari Kamis, 26 Juni 2025 pukul 14.42 WIB hampir sebulan yang lalu, bukan sekadar produk hukum. Putusan MK ini merupakan titik balik dalam sejarah tata kelola pemilu nasional. Putusan ini tidak hanya memisahkan kembali pemilu nasional dan pemilu lokal, tetapi juga membuka "kotak pandora" persoalan sistemik dalam demokrasi Indonesia: "Mengapa sistem pemilu kita tak kunjung stabil?"
Dinamika Sistem Pemilu: Dari Bertahap ke Serentak, Kembali ke Bertahap
Pemilu Indonesia telah mengalami metamorfosis bentuk sejak era reformasi. Tahun 1999 menjadi pemilu pertama era pasca-Orde Baru, dengan model pemilu legislatif terlebih  dahulu, lalu Pilpres melalui MPR. Pada tahun 2004, kita memulai sistem pemilu langsung untuk memilih presiden, terpisah dari legislatif.
Selanjutnya pada tahun 2014 dan 2019, lahirlah wacana dan kebijakan pemilu serentak demi efisiensi dan penguatan sistem presidensial. Puncaknya terjadi pada Pemilu 2019 dan 2024 dimana 5 (lima) surat suara dalam satu waktu --- abu-abu untuk surat suara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, kuning untuk DPR RI, merah untuk DPD RI, biru untuk DPRD Provinsi, serta hijau untuk DPRD Kabupaten/Kota.
Namun, realitas di lapangan tidak selalu seindah teori di atas kertas, pemilu serentak justru menciptakan 'kelelahan sistemik', dengan jatuhnya korban ratusan petugas pemilu akibat kelelahan kerja ekstrem. Ini menjadi refleksi serius bahwa pemilu serentak secara penuh bukan sekadar soal menyatukan berbagai pilihan pada lima kotak suara, tetapi justru menyatukan beragam kompleksitas yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Isi dan Arah Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024
Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada tanggal 26 Juni 2025 menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilu serentak nasional dan lokal tidak sesuai dengan semangat konstitusi UUD 1945. MK menggarisbawahi bahwa beban teknis, ketimpangan fokus politik, serta ketidakadilan dalam akses elektoral menyebabkan kualitas demokrasi justru menurun akibat model serentak total.Â
Beberapa poin penting dalam putusan ini antara lain:
- Pemilu nasional (Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI) dan Pemilu lokal (DPRD, Gubernur, Bupati/Wali Kota) tidak boleh dilakukan dalam satu waktu. Jeda antara keduanya paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan.
- Harus ada penataan ulang jadwal pemilu agar keduanya diselenggarakan secara terpisah. Pemisahan ini bertujuan untuk menyederhanakan proses bagi pemilih, memperbaiki kualitas demokrasi, serta mengurangi beban berat bagi penyelenggara pemilu dan partai politik yang selama ini menghadapi jadwal pemilu yang sangat padat dalam waktu yang hampir bersamaan. .
- Negara wajib mempertimbangkan kualitas partisipasi rakyat, keselamatan petugas, dan keseimbangan antara sistem presidensial dan desentralisasi daerah.
Putusan ini langsung berdampak pada desain Pemilu 2029 dan Pilkada mendatang. Pemerintah, DPR RI, KPU RI, dan masyarakat sipil dihadapkan pada urgensi penataan ulang kalender politik nasional.
Mengapa Pemilu Serentak Tidak Efektif?
Pemilu serentak pernah dianggap sebagai langkah maju untuk memperkuat sistem presidensial. Tapi kenyataannya, ada sejumlah kelemahan serius yang ditemukan dalam praktik. Kelemahan serius tersebut, antara lain:
1. Overload Logistik dan Teknis
Lima surat suara dalam satu hari, ditambah lebih dari 800.00 TPS di seluruh Indonesia, menciptakan tekanan luar biasa. Penghitungan suara menjadi sangat kompleks, distribusi logistik kerap tidak sinkron, dan pelatihan KPPS tidak mencukupi untuk menjelaskan semua prosedur pemungutan suara.
2. Kampanye yang Tak Seimbang
Pemilihan Presiden menjadi pusat perhatian. Calon legislatif dan kepala daerah tidak mendapatkan panggung yang adil. Media massa, ruang publik, hingga debat nasional lebih banyak tersedot ke isu-isu nasional. Akibatnya, calon legislatif kalah pamor dan publik tidak punya cukup informasi tentang wakil-wakilnya di parlemen daerah --- DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
3. Kelelahan Demokrasi
Tidak hanya petugas KPPS, pemilih pun merasa lelah dan bingung. Banyak pemilih mengakui bahwa mereka tidak benar-benar memahami calon anggota legislatif dan/atau calaon anggota DPD yang dipilih, karena terlalu banyak nama, simbol, dan waktu yang sempit untuk memahami semuanya. Akibatnya, kualitas suara menjadimenurun, dan angka suara yang tidak sah menjadi meningkat tajam.