Mohon tunggu...
INS Saputra
INS Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Profesional IT, praktisi, pengamat.

Profesional IT, praktisi, pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Analisis Listrik Padam Separuh Jawa

10 Agustus 2019   16:03 Diperbarui: 15 Agustus 2019   13:26 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo mendatangi kantor pusat PLN, di Kebayoran, Jakarta Selatan, Senin (5/8/2019). Kedatangan Jokowi ini untuk meminta penjelasan PLN 

Menurut analisis penulis, H4 bisa jadi akar masalahnya jika merunut pada kronologi waktu kejadiannya pada Minggu (04/08) sekitar pukul 11:30 WIB (sebelum kejadian listrik padam massal pada pukul 11:48 WIB). Namun ini membutuhkan investigasi lebih lanjut apakah pohon sengon ini memang penyebabnya, jika ya apakah menjadi penyebab tunggal atau ada faktor penyebab lainnya yang saling berkorelasi atau tidak berkorelasi sekali pun.

Katakanlah benar bahwa pohon sengon sebagai (salah satu) akar masalah (yang punya akar memang hanya pohon!?) yang menjadi pemicu pemadaman massal, apakah kita bisa menyalahkan pohon? Pohon tumbuh tinggi hingga 8,5 meter tentu perlu waktu, tidak bisa serta merta tumbuh langsung tinggi. Pohon harus melalui tinggi 5 meter, 6 meter, 7 meter dan 8 meter sebelum menjadi 8,5 meter.

Pertanyaan berikutnya kenapa pohon sengon ini luput dari pemantauan? Jika jawabannya adalah karena keterbatasan biaya operasional sebagai konsekuensi dari efisiensi atau penghematan, maka yang menjadi pertanyaan berikutnya kenapa efisiensi dilakukan sampai mengabaikan hal-hal yang sifatnya kritikal dan berdampak sangat besar?. (Ingat, manajemen risiko selalu mengkalkulasi kemungkinan kejadian dan besarnya dampak).

Jawaban dari pertanyaan inilah yang mungkin menjadi akar dari akar masalah ini?

PLN harus memetik pelajaran yang berharga dari peristiwa ini. PLN dan perusahaan BUMN lainnya seperti Pertamina, Garuda, dll. harus segera mengevaluasi dan berbenah diri. Memang sangat sulit jika dihadapkan pada dua pilihan antara mengejar keuntungan dan mendahulukan kepentingan rakyat. Sebagai organisasi bisnis, salah satu kriteria penilaian kinerja BUMN tentu diukur dari seberapa profit yang bisa dihasilkan.

Di sisi lain, sebagai perusahaan milik negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, PLN, Pertamina dan BUMN lainnya tentu harus memegang teguh nilai-nilai yang terkandung dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Ada baiknya ditinjau kembali apakah sudah tepat perusahaan-perusahaan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dan rakyat kecil (listrik, minyak, air, dll.) berbentuk BUMN/BUMD?

Tidakkah lebih baik perusahaan-perusahaan negara/daerah tersebut bermetamorfosis menjadi perusahaan pelayanan publik nirlaba (non-profit public service company)?

Bagaimana halnya dengan pelanggan bisnis, seperti perusahaan besar, industri dan pabrik?

Khusus untuk pelanggan bisnis, PLN dan Pertamina masih bisa memberikan layanannya, tentu saja dengan tetap berorientasi pada profit (profit oriented), mungkin namanya menjadi PLN Bisnis, Pertamina Bisnis, atau nama lainnya.

Meskipun sebenarnya dengan skema listrik bersubsidi, BBM bersubsidi, gas bersubsidi sudah mencerminkan keberpihakan perusahaan negara kepada rakyatnya, namun tetap saja akan menjadi beban untuk BUMN karena sebagai perusahaan bisnis tetap harus mencari keuntungan sebesar-besarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun