Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ada 5 Alasan Indikasi Sekularisasi Tradisi Bertani Masyarakat Indonesia dan Tantangannya

21 Juni 2022   21:18 Diperbarui: 24 Juni 2022   09:08 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada 5 alasan indikasi sekularisasi tradisi bertani masyarakat Indonesia dan tantangannya | Dokumen pribadi oleh Irna Nembo

Yang saya pikirkan sekarang adalah bagaimana supaya menjadi petani modern dan milenial, tetapi sekaligus setia pada tradisi bertani yang berakar pada kearifan lokal -Ino Sigaze.

Tema sorotan Topik Pilihan Kompasiana kali ini menantang saya secara pribadi tentunya lebih-lebih karena saya sendiri adalah anak dari seorang petani dengan latar belakang tradisi bertani yang kuat. 

Warisan tradisi bertani yang mempengaruhi saya secara kuat itu (geprägt), akhirnya tinggal kenangan karena saya sendiri tidak lagi bertani seperti keluarga saya pada umumnya.

Meskipun demikian, saya masih bisa mengikuti perkembangan dan perubahan tradisi bertani itu sejak tahun 1980-an sampai dengan saat ini. 

Dari pengamatan berdasarkan kenyataan di kampung saya, ternyata memberanikan saya bahwa tradisi pertanian saat ini telah mengalami fase sekularisasi.

Berikut ini ada 5 alasan mengapa ada indikasi sekularisasi dalam konteks tradisi bertani:


1. Perkembangan dan perubahan tradisi bertani itu sangat dipengaruhi oleh sistem adat yang berlaku

Sistem adat yang berlaku di setiap suku di Flores tentunya berbeda-beda. Ada sistem adat yang masih sangat kuat mewariskan segala macam adat, termasuk tradisi bertani mereka kepada anak cucu mereka.

Namun, tidak bisa disangkal bahwa pewaris tradisi adalah para orangtua yang umumnya belum mengenyam pendidikan tinggi seperti generasi muda pada umumnya saat ini.

Kematian generasi yang adalah pewaris tradisi bertani ternyata punya dampak besar sekali pada konsep kelanjutan (kontinuitas) dari tradisi bertani itu sendiri.

Saya masih ingat kakak dari ayah saya dulunya selalu setia dengan tradisi bertani yang lengkap dengan ritual adat dan kearifan lokal di dalamnya. Ada macam-macam upacara seperti, seperti: ada dhera noro, pa mopo, gore, jenda dan beberapa lainnya. Tradisi bertani bersama dengan kearifan lokal seperti itu umumnya hidup di daerah wilayah Ende bagian barat.

Akan tetapi, setelah orangtua itu meninggal, tidak ada lagi anak-anak yang mau meneruskannya. Dampaknya lainnya bahwa istilah dan tata cara tradisi bertani itu perlahan-lahan dilupakan.

Pilihan tanaman, bukan padi tetapi sayur terung | Dokumen pribadi oleh Irna Nembo
Pilihan tanaman, bukan padi tetapi sayur terung | Dokumen pribadi oleh Irna Nembo

2. Perubahan wawasan berpikir di kalangan para petani

Perubahan wawasan itu mungkin yang paling mempengaruhi tradisi bertani masyarakat di Flores pada umumnya. 

Bisa saja semakin masyarakat itu punya wawasan tentang cara bertani, maka akan semakin jauh dari tradisi bertani yang kental dengan ritual adat dan kearifan lokalnya.

Tentu situasi itu sangat disayangkan, mestinya semakin berkembang wawasan masyarakat, maka kesetiaan mereka pada tradisi harus bisa tetap dipertahankan.

Nah, dalam konteks ini, sebetulnya perubahan wawasan berpikir masyarakat itu adalah juga sebuah tantangan yang ada di tengah masyarakat saat ini. Mampukah menjadi setia dengan tradisi bertani yang kuat dipengaruhi oleh ritual ada dan kearifan lokalnya?

Tradisi bertani yang asli pasti sama sekali tidak menggunakan mesin, tutur dan nalari dalam konteks kearifan sama sekali tidak ada ucapan terkait kata mesin di sana. Oleh karena, tradisi bertani yang tradisional sebenarnya dalam arti tertentu anti teknologi.

Pertanyaannya, masih mungkinkah dipertahankan sampai saat ini? Seberapa efektif tradisi bertani tanpa teknologi? Tentu saja sangat menarik untuk dicermati tegangan itu, bahwa perubahan wawasan itu sangat penting, tetapi juga kesetiaan terhadap tradisi mesti bisa dikoreksi.

Nah, risikonya adalah bahwa orisinalitas dari bahasa, tutur adat dalam konteks masyarakat suku akan mengalami proses sekularisasi. Rasanya itu adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari saat ini.

3. Perubahan iklim dan kontur tanah

Perubahan iklim dan kontur tanah sudah seharusnya menjadi aspek yang perlu dipertimbangkan dalam konteks pembahasan terkait tradisi bertani.

kontur tanah yang cocok untuk sayuran daripada padi | Dokumen pribadi oleh Irna Nembo
kontur tanah yang cocok untuk sayuran daripada padi | Dokumen pribadi oleh Irna Nembo

Kalau dulu rupanya tingkat kesuburan tanah jauh lebih tinggi, bahkan tanpa bantuan aneka macam pupuk. Saat ini, sepertinya tidak bisa bertani tanpa pupuk. Mengapa seperti itu?

Ada 2 alasan berikut ini:

  1. Angka pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk desa yang juga adalah petani semakin banyak, yang berdampak pada pembagian lahan kerja. Jika seseorang hanya punya satu atau dua lahan kerja, maka mau tidak mau setiap tahun dia harus tetap menggarap lahan yang sama. Dulu setiap petani punya banyak lahan, satu bidang lahan baru digarap beberapa tahun kemudian. Oleh karena sebenarnya tidak membutuhkan pupuk lagi.

  2. Curah hujan yang semakin sedikit dan suhu panas banyak, bahkan perubahan iklim sudah sulit ditebak oleh petani lagi.

4. Kemajuan informasi dan komunikasi

Kemajuan informasi dan komunikasi saat ini yang tidak bisa dibendung lagi. Siapa saja boleh mengonsumsi informasi untuk kemajuan hidup dan bahkan untuk kemajuan usahanya.

Sangat mungkin bahwa melalui kemajuan informasi itu, para petani semakin menjadi cerdas, bahkan punya sikap dan keputusan sendiri bahwa yang penting saat ini adalah kecepatan memperoleh hasil, kualitas dan pemasarannya.

Bagaimana petani di desa bisa setia bertahan dengan tradisi bertani, kalau hidup sebagai petani padi, misalnya, setahun hanya sekali panen dengan hasil yang sangat sedikit. Bagaimana bisa hidup?

Petani yang cerdas, tentunya akan punya keputusan lain. Misalnya, mereka punya kebun padi, jagung seadanya saja sekedar untuk mengenang warisan dan tradisi nenek moyang mereka.

Selanjutnya mereka punya tanaman umur panjang seperti: cengkeh, kakao, vanili, merica, pala, kopi, rambutan, durian, salak dan lain sebagainya.

Tanaman umur panjang itu bisa lebih sering dipanen daripada berkebun padi. Petani sudah bisa membedakan jalan mana yang cepat memperoleh uang untuk kemajuan ekonomi mereka.

Faktor seperti itulah yang tentunya, minat untuk tradisi bertani itu semakin jauh dari harapan kebanyakan orang. Tren yang ngetop saat ini adalah menjadi petani buah dan petani sayur.

Jenis petani seperti itu tentu tidak punya tradisi lagi sebagai yang paling pokok. Nah, pengalaman membuktikan bahwa masyarakat desa memang perlu diberikan beberapa informasi terkait hubungan antara tradisi dengan kesuksesan itu sendiri.

Dua tahun lalu, saya ditelepon oleh seorang petani sayur di kampung saya. Dia sebenarnya hanya punya modal pengalaman perantauan di Malaysia, lalu kembali ke kampung dan berjuang sendiri.

Suatu ketika, kebunnya diserang hama ulat yang begitu banyak menyerang satu kebun tanaman melonnya. Apa yang dilakukannya? 

Dia bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Nah, dalam konteks pengalaman seperti itu tradisi dan adat istiadat menjadi begitu penting dan bisa terhubung kembali. 

Saya hanya mengatakan kepadanya, mau pakai obat, ulat itu tidak mati. Lalu mau ngapain? Zurück zur Uhr Tradition atau kembali ke tradisi ternyata itu jawabannya.

Ia membuat ritual adat dengan nama tolak bala dalam bahasa Ende. Pada saat itu, dia mengucapkan kata-kata adat sebagai suatu permohonan, agar ia bisa berhasil. Rupanya bisa berfungsi dengan baik. Keesokan harinya, ulat-ulat itu entah pergi ke mana, sudah menghilang dari kebunnya.

Saya tidak tahu di daerah, tetapi di daerah saya rupanya tradisi bertani itu masih sangat kuat hubungannya dengan keyakinan masyarakat tentang alam dan leluhur mereka.

5. Dilema yang dihadapi petani antara bersaing di pasar global dan memelihara tradisi

Dilema masyarakat desa, khususnya petani saat ini tentunya sangat besar. Jika mereka setia pada tradisi bertani yang sangat tradisional, maka sudah pasti menguras energi mereka sangat banyak.

Coba bayangkan kalau tidak boleh membajak kebun, selain harus mencangkul. Belum lagi, bagaimana para petani itu bisa bersaing dalam ranah pasar yang lebih luas, kalau hasil tradisi bertani mereka hanya itu-itu saja dan sangat terbatas.

Keterbatasan itu, karena kesetiaan mereka pada tradisi. Apakah masih harus dipertahankan? Wawasan seperti apakah yang bisa dipakai untuk menjelaskan hubungan antara di satu sisi jadi petani modern, pada sisi lainnya juga tetap setia pada tradisi bertani.

Ya, bisa saja itulah definisi dari petani milenial, yang tentu saja masih sangat terbuka pada diskusi dan kajian lainnya. 

Mampukah kaum muda memadukan antara yang modern dengan yang tradisional bersama kearifan lokalnya?

Tanpa keseimbangan antara kemodernan dengan tradisi bertani bersama kearifan lokalnya, maka sudah pasti wajah sekularisasi menjadi begitu nyata sampai ke desa-desa.

Ya, sekularisasi dalam tradisi bertani bisa saja semakin merapat dan mengimpit tradisi bertani yang berakar pada kearifan lokal. 

Mari kita coba memadukan keduanya, menjadi petani modern yang elegan, tetapi tetap setia pada tradisi bertani yang diwariskan leluhur dengan sikap keterbukaan baru pada koreksi-koreksi yang genial dan masuk akal. 

Salam berbagi, ino, 21.06.2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun