Jangan memeras ART yang tulus dan tanpa menuntut hak-haknya! Kembalilah ke kearifan lokal kita masing-masing!
Sebuah kisah nyataÂ
Liburan bulan Agustus lalu telah mengukir kisah perjumpaan dengan seorang ART, sebut saja namanya Hero. Perjumpaan pertama dengan Hero di bulan Agustus 2021.
Suasana santai menjadi awal cerita perkenalan kami di sebuah pondok kecil. Â Nama Hero sudah saya dengar sebelumnya dengan beberapa kisahnya.
Hero pernah tinggal di beberapa kampung. Hero sudah berusia 58 tahun pada bulan Agustus lalu. Ia punya seorang istri dan seorang anak yang sudah gadis.
Hero punya rumah di beberapa kampung. Aneh bukan? Ya, ia hidup berpindah-pindah. Ia adalah seorang pendatang dari tanah seberang yang ingin mengais hidup di kampung halaman tetangga.
Entah kenapa ia punya keputusan seperti itu. Tentang pertanyaan mengapa ia bisa menjadi ART di sana, rupanya lebih karena alasan ekonomi.Â
Perjuangannya yang terberat adalah menghidupi keluarga kecilnya sambil pernah membiayai putri semata wayang sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Â Puterinya akhirnya ditawar kerja, namun ternyata menikah.
Meskipun secara ekonomi terbatas, Hero tetap dikenal sebagai seorang ART dari banyak tuan. Ya, ia bisa menjadi asisten orang-orang yang punya sedikit kuasa di desa.
Meskipun demikian, Hero tinggal pada sebuah rumah yang dibangunnya sendiri. Sebuah rumah yang layak untuk keluarga kecilnya. Sayangnya ia pernah mengalami nasib kurang menyenangkan sepuluh tahun silam.
Di sebuah kampung ia telah menanam dan membangun rumah, namun orang-orang di kampung itu selalu menganggapnya sebagai pendatang alias tidak punya hak dan suara apa-apa. Hasil kebunnya diambil orang, hasil ternaknya diambil dengan cara utang dengan sopan, namun ujung-ujungnya tidak mau bayar.