Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Belajar dari Etika Bersepeda di Jerman

19 Maret 2021   16:03 Diperbarui: 21 Maret 2021   10:43 1096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga bersepeda di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (21/9/2020).| Sumber: KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO

Bangga sih sebenarnya, ketika membaca topik pilihan yang ditawarkan kepada semua Kompasiana tentang etika bersepeda. Mengapa? 

Ada 5 alasan berikut ini: 

1. Bersepeda di Indonesia sudah menjadi keseharian yang perlu diperhitungkan

2. Bersepeda itu sudah bisa dihubungkan dengan tema-tema lain seperti tema keselamatan manusia, etika dan lain sebagainya. 

3. Bersepeda itu tidak hanya sekadar orang bisa naik sepeda

4. Bersepeda itu mesti dipikirkan pemerintah terkait aturannya

5. Bersepeda itu tentu sehat dan ramah lingkungan. 

Mungkin Kompasiana punya alasan sendiri mengapa tema Etika Bersepeda itu diangkat. Tentu saya sepakat bahwa tema itu menarik sekali. 

Kesadaran tentang pentingnya etika bersepeda bagi saya itu tumbuh ketika bersepeda di Jerman. Maaf ini bukan saling membandingkan, tetapi saya secara pribadi yang terbuka mau belajar dari konsep mereka tentang bersepeda. Unik juga sih kalau dilihat bagaimana mereka bersepeda. 

Cara mereka bersepeda itu sama sekali tidak bisa dipisahkan dari tata kota mereka sendiri. Artinya, perhitungan untuk kepentingan bagi orang yang suka bersepeda itu sudah masuk dalam kerangka konsep perancang bangunan itu sejak awal. 

Membangun jalan di kota bagi mereka sama dengan membangun jalur-jalur realistis sesuai kebutuhan masyarakat. 

Jalur jalan yang realistis sesuai kebutuhan masyarakat adalah:

1. Jalur untuk kendaraan pribadi dan umum (PKW dan LKW) 

2. Jalur untuk Bus dan Straßenbahn. 

3. Jalur untuk pejalan kaki. 

4. Jalur untuk sepeda. 

Empat jalur itu, selalu ada dan ditemukan di lingkaran kota, bahkan dituliskan dengan jelas mana jalur sepeda dan mana trotoar untuk pejalan kaki. Tidak jarang pula, orang menemukan jalur sepeda itu dibuat berwarna. 

Cara membangun jalur sepeda yang direncanakan sejak rencana penataan kota bisa jadi berawal dari kerangka berpikir yang berkaitan erat dengan etika, bagaimana orang nantinya bisa bersepeda dengan baik. 

bing.com
bing.com
Saya percaya bahwa jika orang bisa belajar dari orang lain untuk menjadikan dirinya lebih baik, mengapa saya sendiri tidak mau belajar dari yang baik itu. 

Karena itu cerita tentang bersepeda di Jerman itu menarik. Mengapa?

1. Etika bersepeda itu sudah terbentuk oleh lingkungan dan kebiasaan 

Para pejalan kaki ataupun yang bersepeda tahu bagaimana berjalan sesuai jalur mereka masing-masing, selain aturan yang berlaku untuk umum misalnya lampu merah, ya, semuanya harus berhenti. 

Risiko kecelakaan dalam bersepeda itu sangat kecil. Karena jalur sepeda itu punya jalur sendiri, selain itu respek mereka terhadap yang lain itu luar biasa besar. 

Artinya, etika itu sendiri mesti diimbangi dengan kesadaran pribadi bahwa untuk bersepeda orang perlu menggunakan helm, sepeda harus punya rem yang bagus, harus juga punya lampu lebih-lebih pada saat berkabut.

2. Etika bersepeda dijunjung tinggi karena bersepeda itu sebagai ritme untuk kesehatan fisik

Rasanya sih berbeda, kalau saya ingat cerita di beberapa daerah. Tahun 1990-an di tempat saya, yang punya sepeda itu cuma anak para guru atau anak dari orang yang punya cukup duitnya. Dan sepeda buka itu dibeli bukan sebagai sarana olahraga, tetapi sarana hiburan dan kesenangan untuk anak-anak. 

Tentu, konsep seperti itu sudah tinggal kenangan. Sekarang di kota-kota besar di Indonesia sudah berubah konsepnya. Bahkan di ibu kota Jakarta sudah mulai dibangun jalur sepeda.

Di Jerman, orang bisa melihat setiap hari selalu saja ada yang bersepeda, bahkan kereta antar kota juga menyiapkan ruangan untuk parkir sepeda. Keren lho, tidak asal masuk ke dalam kereta saja tuh. 

Etika yang jelas-jelas tertulis, hampir tidak pernah terlihat, tetapi orang bisa melihat dengan jelas bagaimana para pengguna sepeda menggunakan etika. Saya sih percaya, dasar etika mereka adalah rasa hormat pada yang lain.

3. Etika bersepeda dibangun di atas dasar nilai kehidupan

Saya pernah melihat bahwa pengguna sepeda di Jerman bahkan berhenti atau mengurangi kecepatannya hanya karena seekor tikus sedang melintas di jalurnya. 

Nah, sebenarnya bukan hanya untuk pengguna sepeda, kereta juga kalau ada binatang kecil berada di relnya, bisa berhenti dan macet sampai ada petugas khususnya datang untuk mengurusnya, apalagi kalau sudah tertabrak, bisa lama di situ berhentinya. 

Cerita seperti ini hanya mau mengungkapkan nilai bahwa etika itu melekat dalam diri mereka oleh karena rasa hormat pada nilai-nilai kehidupan. Apalagi untuk manusia. 

Saya belum pernah melihat kendaraan menyenggol manusia, atau sepeda pernah menabrak pejalan kaki lain. Paling-paling mereka berteriak, "ini jalur sepeda" atau dibunyikan bel. Dan ketika memberikan jalan sesuai haknya mereka, mereka mengucapkan terima kasih. Jelas nilai keramahtamahan itu bisa dilihat dengan jelas.

Etika bersepeda di Jerman itu bukan saja pada saat di jalan umum, tetapi juga saat di rumah. Sepeda umumnya punya tempat parkirnya sendiri. Biasanya sudah dibuatkan melalui rangka besi dengan posisi bagian depan sedikit lebih tinggi untuk menaruh ban depannya. 

Nah, setelah bersepeda, orang harus tahu di mana dan bagaimana sepedanya diparkir. Demikian juga kalau di stasiun kereta api. Selalu saja ada tempat untuk parkir sepeda. 

Saya masih ingat pada musim panas tahun lalu. Saya berangkat sedikit buru-buru untuk mengejar jam kereta ke kota Frankfurt. Setiba di stasiun, saya juga cepat memarkir sepeda saya. Selanjutnya, saya berlari mengejar kereta. 

Ternyata saya lupa mengunci sepeda saya, cuma saya memarkirkan sepeda itu secara benar pada tempat yang sudah disiapkan. Setelah pulang kuliah, saya kembali melalui arah lain dan stasiun lain. Saya benar-benar lupa bahwa saya pernah tinggalkan sepeda saya di stasiun utama. 

Seminggu kemudian, ketika saya ingin bersepeda, baru saya ingat bahwa saya lupa sepeda di stasiun kereta. Jantung berdebar pergi ke sana, cuma karena takut kehilangan sepeda itu, ya lumayan mahal sih. 

Saya sungguh bersyukur bahwa sampai di stasiun, saya masih menemukan sepeda saya pada posisinya seperti minggu lalu itu. Saya menjadi sadar bahwa itulah pentingnya ketika orang beretika, maka risiko terburuk menjadi lebih kecil atau bahkan tidak ada. Meskipun juga, ada kejadian-kejadian aneh diluar dugaan. 

Jadi, etika bersepeda sangat penting sesuai dengan tempat di mana orang itu berada. 

Etika bersepeda di Jerman sebetulnya mirip dengan pengendara kendaraan bermotor, khususnya dalam hal penggunaan jalur. Ya, jalur sebelah kanan orang harus berjalan. Tentu berbeda dengan di Indonesia. 

Saya pernah punya kebiasaan itu, tanpa sadar sewaktu mengendarai kendaraan bermotor di Flores, saya berjalan di sebelah kanan. Mobil yang berada di posisi berpapasan dengan saya heran-heran, sampai sopirnya mengayunkan tangan. 

Saya akhirnya berhenti dan heran, lalu tanya mengapa? Sopir itu bilang, "Kamu gila?" Tahu gak, harus di sebelah kiri." Saya meminta maaf kepadanya. Saya tertawa sendiri, ampun kenapa begitu konyol hari ini. Ternyata, etika bersepeda itu ada hubungannya dengan adaptasi lingkungan dan etika yang berlaku pada tempat lain. 

Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari cerita dan catatan di atas:

1. Orang perlu selalu belajar menyesuaikan diri dengan etika yang ada, keterbukaan untuk menyesuaikan diri itu selalu menjadi standar poin yang penting. 

2. Beretika dalam bersepeda itu bukan supaya disanjung orang, tetapi supaya keselamatan pribadi dan ketertiban umum bisa menjadi lebih baik dan tidak menghambat orang lain. Tentu nilai keselamatan orang lain tetap saja menjadi nilai yang penting terkaitnya. 

3. Keramahtamahan dalam bersepeda itu memang tetap harus ada

4. Faktor keamanan pribadi melalui penggunaan fasilitas pengendara standar untuk pengendara (helm, dll) harus ada.

5. Respek pada lingkungan sekitar harus diperhatikan

6. Orang perlu mengikuti tata aturan yang berlaku di mana dia bersepeda.

Mari belajar dari yang lebih baik, agar hidup ini bisa berjalan sesuai jalur yang terbaik. 

Salam berbagi, ino, 19.03.2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun