Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih Adakah Ruang bagi Etika Kritik Versi Masyarakat Adat untuk Mengkritik Pejabat Publik?

1 Maret 2021   21:30 Diperbarui: 1 Maret 2021   21:34 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
doliwa.naturtoto.de

Tema Kritik belakangan ini ramai dibicarakan di berbagi Media, bahkan tema kritik menjadi topik yang disoroti untuk ditanggapi kompasiana. Senang sih saat mendengar kata kritik. Mengapa? Karena umumnya ada anggapan bahwa orang yang memberikan kritik adalah orang yang kritis. 

Namun, pada kenyataannya tidak semua orang yang kritis itu bisa memberikan kritik. Bahkan juga ada orang yang memberikan kritik tapi tidak menunjukkan diri sebagai seorang yang kritis. Pertanyaannya, siapa sih yang bisa kritis dan bisa juga mengkritik?

Kalau ditanya seperti itu, umumnya orang berpikir bahwa, orang yang kritis dan bisa mengkritik itu tentu orang yang berpendidikan tinggi. Oh, tunggu dulu, bisa jadi keliru. 

Sekurang-kurangnya saya punya pengalaman bahwa masyarakat adat bisa juga menjadi kritis dan bisa juga mengkritik pejabat publik. Ada dua hal yang perlu dijelaskan di sini, yakni etika dan masyarakat adat.

Pertama, etika. Apa sih etika itu? Kbbi.web.id menulis: etika/eti*ka/ /tika/ n ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). 

Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral, itu tidak selamanya ilmu akademik yang diperoleh hanya melalui proses belajar formal di Sekolah dan Universitas. Mengapa? Hal ini karena 3 alasan ini:

1. Sejak dari rumah setiap orang sudah diajarkan etika oleh orang tua dan lingkungan masyarakat sekitar.

2. Bagi masyarakat yang terikat kuat dengan adat, ya, sudah jelas sejak kecil juga sudah terlibat dalam urusan adat, meskipun bukan sebagai pemeran penting dalam struktur adat, namun sekurang-kurangnya lingkungan masyarakat telah mempengaruhinya.

3. Prosesi adat yang dilakukan masyarakat adat itu memberikan dasar kepada seluruh masyarakat adat setempat bukan semata pengetahuan adat istiadat, tetapi lebih-lebih adalah hal keyakinan dan tanggung jawab pribadi yang berdampak pada kehidupan kolektif.

Kedua, masyarakat adat: Masyarakat adat yang saya maksudkan adalah masyarakat yang terikat kuat dengan keyakinan adat pada suatu tempat. Mereka berpegang teguh pada filosofi adat, mereka memiliki tutur khas adat, bahkan mereka memiliki etika adat yang santun dan kritis. 

Cuma, sejauh pengamatan saya, warisan adat yang baik yang di dalamnya ada etika dan cara masyarakat adat menyampaikan kritik itu belum memiliki tempat yang berpengaruh sebagai instrumen kritik terhadap pejabat publik. Mengapa bisa seperti itu?

Ada 4 alasan, mengapa etika kritik masyarakat adat belum punya ruang untuk mengkritik pejabat publik:

1. Putusnya hubungan makna antara warisan adat, budaya kita sendiri dengan euforia kebhinekaan di negeri ini

Kehilangan pengaruh etika kritik versi masyarakat adat itu terjadi karena ada paradoks antara rasa bangga tentang kebhinekaan yang ada, dan pada saat yang sama orang tidak peduli atau juga tidak tertarik untuk melihat makna dari keberagaman itu secara lebih konkret sampai ke akar tradisi masyarakat adat.

2. Sistem Pendidikan kita yang kurang bisa memberikan perhatian pada kebudayaan lokal dan warisan nilainya.

3. Pemahaman tentang budaya modern sebagai budaya yang bebas dari ikatan fondasi tradisional dan asli.

4. Bahasa adat masyarakat adat belum serius dipelajari. Ada kesan bahwa orang lebih bangga kalau bisa bicara bahasa internasional, daripada bisa berbicara bahasa internasional tapi juga bisa paham bahasa daerah.

Lalu, bagaimana tawaran solusi agar etika kritik masyarakat adat itu hidup dan dikenal publik? Menurut saya, ada 3 jalur pendekatan:

1. Jalur teologi Kontextual

Teologi ini dihidupkan dengan tujuan agar orang bisa membaca kembali warisan adat, budaya, bahasa, kebiasaan masyarakat yang telah rusak, bahkan hilang pada era Kolonialisme. Pendekatan teologi Kontekstual tentu cuma salah satu cara untuk mengangkat kembali warisan adat seperti etika kritik masyarakat adat. 

Saya pernah mencoba itu dalam suatu kesempatan menulis tentang budaya kematian masyarakat Sikka, Maumere yang namanya Sumana pitu" Pada waktu itu, saya menemukan ada nilai-nilai yang terkandung di dalam kebiasaan dan tradisi itu.

2. Jalur penulisan

Tentu kesadaran untuk pendekatan kedua ini tumbuh dari kesadaran saya ketika menjadi penulis pemula di Kompasiana ini. Saya percaya bahwa warisan adat yang kaya nilainya untuk kehidupan kolektif masyarakat bisa dikenal saat penulis telah menuliskan itu semua. 

Dalam hal ini saya bersyukur sekali, karena saya terpanggil untuk menuliskan warisan budaya dan adat istiadat saya yang tercecer, bahkan dilupakan berabad-abad. Tentu melalui tulisan kecil ini, tidak berlebihan hanya sebagai cara berbagi kepada pembaca untuk mengenal budaya dan adat istiadat yang tidak pernah ditulis itu.

3. Jalur penelitian kebudayaan

Jalur ini rupanya belum banyak menarik simpati orang atau tepatnya kaum akademisi. Mungkin juga ada, tetapi sekurang kurangnya di tempat saya, saya belum pernah melihat mahasiswa datang untuk penelitian yang terkait warisan adat. Karena itu, mungkin pendekatan penelitian kebudayaan ini bisa menjadi tantangan kita yang mengagumi kebhinekaan Indonesia. 

Dari pengalaman pribadi saya pernah juga membuat penelitian kecil tentang anggapan masyarakat adat tentang hidup miskin atau cara berpikir yang miskin?" Nah, dari hasil penelitian kecil pada tahun 2010, saya akhirnya yakin bahwa penelitian kebudayaan itu sangat penting untuk menemukan akar dari persoalan-persoalan bangsa ini. 

Sekali lagi, hal ini cuma temuan kecil, karenanya saya yakin peneliti lain mungkin jauh jauh lebih akurat mengungkapkan akar persoalan-persoalan sosial bangsa ini.

Bagaimana sih persisnya etika kritik masyarakat adat yang dianggap penting itu?

Berikut ini saya mengangkat salah satu saja dari adat Ende dan secara khusus adat Suku Paumere tentang etika kritik masyarakat adat. Pentas adat dilakukan setahun sekali, antara bulan Mei sampai Agustus. 

Dalam hal ini, tergantung pemangku adat dalam menentukan jadwal pelaksanaannya. Acara itu, biasanya ada undangan terhormat, seperti pimpinan daerah, dan kecamatan. Ya, pejabat publik pasti akan menjadi tamu istimewa.

Moment penting dalam acara adat yang kami namakan "ka uwi, kero jawa," artinya makan umbian dan jagung itu adalah tarian Gawi. Saat puncak pada tarian itu, semua orang yang hadir termasuk para undangan, diundang juga untuk menari sebagaimana ciri khas dari warisan adat itu sendiri.

Setiap orang pasti langsung bergandeng tangan, ya, termasuk pejabat-pejabat publik yang hadir pasti bergandeng tangan dengan masyarakatnya saat menari itu. Lalu, ada seorang juru syair yang dinamakan "ata sodha", ia berdiri di tengah-tengah lingkaran penari-penari itu. Sudah pasti juru nyanyi adalah orang yang memiliki daya imajinasi tinggi, bahkan memiliki wawasan luas tentang kehidupan aktual.

Pada moment itulah, ia menyampaikan kritik melalui syair-syair adat. Pejabat publik yang hadir tidak akan tersinggung, mengapa? Karena Kritik, teguran itu disampaikan secara terhormat dalam forum adat, yakni pada saat pejabat publik itu sendiri bergandengan tangan dengan masyarakat adat yang dalam tanda petik adalah orang biasa. 

Juru syair bisa menafsir apa artinya gandengan tangan pejabat publik itu. Berikut ini salah satu syair yang menurut saya ada muatan etika kritiknya: O bapa Camat, Kau Mai dhato kami ata susa, kau dari nggepi nggiki-nggiki nee kami Ari ana, teke si Zima, dari si sama-sama, pati si kami raza masa." (Syair kritik dari bapak Moses Bosu (2016) untuk bapak Camat) 

Artinya, Wahai bapak Camat yang terhormat, Engkau datang mengunjungi kami yang susah, Kau berdiri berdampingan begitu rapat bersama kami semua yang adalah saudara, adik kakak Anda. Marilah bergandengan tangan dan berdirilah bersama, berilah kami jalan yang beraspal."

Dari segi rasa bahasa, maknanya tentu tidaklah lengkap seperti terjemahan saya di atas. Di situ ada satire adat pada syair singkat itu, yang bisa ditangkap seakan-akan jangan berpura-pura akrab tapi hati tidak peduli.Uniknya bahwa satire itu disampaikan dengan bahasa yang ramah dan indah dari pemahaman bahasa adat setempat.

Konteksnya adalah masyarakat membutuhkan pembangunan jalan desa. Masak sih sekian lama Indonesia merdeka, tetapi jalan menuju desa kami (desa Kerirea) masih berlumpur dan berlubang. Waktu itu bapak Camat menangkap pesan dan sama sekali tidak terlihat seperti direndahkan. Mengapa? Hal ini karena 3 alasan ini:

1. Kritik itu disampaikan dengan bahasa hati masyarakat adat.

2. Kritik disampaikan bukan untuk menolak pribadi seseorang, karena nyatanya pada saat itu kami masih bergandengan tangan

3. Kritik itu disampaikan sebagai suatu seni, ya seni menyampaikan pesan yang santun sesuai tata krama, adat istiadat.

Persoalannya adalah berkaitan dengan "pejabat asing" itu. Sebaliknya, jika pejabat itu bukanlah orang asing, maka etika kritik masyarakat adat memiliki pengaruhnya yang kuat sebagai sarana kontrol sosial (social control), bahkan bisa memiliki dampak psikologis dan spiritual.

Akhirnya saya menyadari bahwa masyarakat adat memiliki etika kritik yang santun. Ya, suatu etika kritik yang lahir dari refleksi atas warisan adat istiadat setempat: Kritik itu bukan menolak diri pribadi, tapi mengkritisi cara dan isi pikiran seseorang atau pejabat publik. 

Kritik boleh-boleh saja, asal kita tetap bergandeng tangan untuk kesuksesan masa depan bangsa. Salam berbagi.

Ino, 1.03.2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun