Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pantaskah Menulis Lagi tentang Komentar Kompasiana?

20 Februari 2021   03:48 Diperbarui: 20 Februari 2021   04:18 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semenjak menjadi penulis dengan kategori Debutan dan Junior saya merasakan suatu perubahan yang begitu besar dalam hidup saya. Apa saja? Tentu sangat banyak, sebanyak artikel yang pernah saya tulis dan jauh lebih banyak lagi hal yang saya alami, namun belum saya tulis. 

Tiba-tiba saja muncul gagasan menghitung hari sejak 27 Januari 2021 hingga hari ini. Wah, tanpa terasa saya sudah 24 hari bergabung di Kompasiana. Berapa sih pembaca tulisanku? Apa sih yang telah saya dapatkan? Siapa sih yang saya kenal? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya.

Anehnya, saya merasakan bahwa hidup saya akhirnya bersahabat dengan ide-ide inspiratif. Saya menemukan betapa berartinya keunikan, hal yang baru, sesuatu yang mengagumkan, bahkan kebetulan-kebetulan yang masuk akal. Ini juga menjadi alasan mengapa saya pernah menulis tentang Kompasiana sebagai suar dunia.

Selama 24 hari menulis, baru saya alami hari ke-24 ini dengan perolehan komentar yang terbanyak. Oleh karena 17 komentar itulah, saya akhirnya dihantui pertanyaan, mengapa saya tidak menulis lagi tentang komentar-komentar itu? Pentingkah menulis komentar teman-teman? 

Tema komentar harusnya menjadi teman penting dalam konteks apa saja untuk seluruh rakyat Indonesia. Saya bahkan berpikir, percuma kita bicara tentang revolusi mental dan revolusi akhlak, kalau cara dan kata-kata dalam komentar kita saja, sudah tidak bisa menunjukkan ciri-ciri bijak, apalagi dibumbui dengan kata makian, sinis dan gambar-gambar editan yang menghina dan merendahkan. Siapakah manusia?

Saya terseret oleh pertanyaan dalam Kitab Mazmur bab 8: Apakah anak manusia sehingga Engkau mengingatnya dan mengindahkannya? Padahal Allah telah memahkotai manusia dengan kemuliaan dan hormat.

Atas dasar kesadaran itu, saya sebenarnya begitu bergembira hari ini karena membaca komentar dari teman-teman baru saya, yang bisa saya sebutkan nama mereka sekarang: Widz Stoops, Khrisna Pabichara, I Ketut Suweca, Maria Hiangliu, Kaka Arnold, Indria Salim, Theresia Iin Assenheimer, Mochamad Syafei.

Teman-temanku semua telah memberikan pelajaran yang indah dan menyenangkan, bahkan hingga meletupkan ide yang mungkin belum biasa bahwa orang menulis dari komentar teman-temannya.

Komentar teman-teman saya pada hari ini bagi saya adalah contoh terhebat untuk Indonesia. Mengapa? Coba saja Anda lihat komentar pada dinding Facebook terkait tokoh-tokoh politik di Indonesia. Sadis bukan? Itulah bedanya, itulah uniknya dan itulah alasan mengapa saya menulis tentang komentar.

Komentar dengan kata-kata yang teduh dari kedalaman hati yang sunyi bagiku itulah jiwa sang seniman. Hari ini, delapan seniman itu telah menunjukkan kejernihan jiwa yang terungkap melalui kata-kata.

17 Komentar itu telah menggugah saya untuk tidak bisa diam sebelum semuanya tertulis pada dinding Kompasiana. Tepatnya pukul 19.45 waktu Jerman, saya keluar melalui pintu rumah bagian depan untuk mengunci pintu-pintu itu.

Terkejut saat saya hendak menutup pintu, terpental di atas lantai dua lembaran kertas berwarna. Ada tulisan yang yang membuat saya sejenak terdiam, Ohne Kunst wirds Still, yang artinya "ini menjadi sunyi tanpa seni." Apa yang saya tangkap dari kata-kata terlepas itu dengan cerita saya hari ini?

Saya percaya bahwa kata dan kalimat yang saya baca setiap hari pasti terhubung dengan diri saya, entah apa yang saya pikirkan, maupun dengan apa yang hendak saya lakukan. Dan tentunya, ketika saya menulis dan merefleksikan kata-kata itu, maka kata-kata itu akan menghasilkan energi yang akan menyebar kepada pembaca lainnya. 

"Ini menjadi sunyi tanpa seni," hanya akan terjadi, jika saya menutup pintu komentar. Andaikan hari ini tidak ada kolom komentar yang dibuka dan ditulis, maka saya bisa mengatakan hari Ini menjadi sunyi tanpa seni.

Menjadi sunyi tanpa seni adalah bagian dari hidup, sekurang-kurangnya kutipan ini mewakili perasaan dan hati para seniman Jerman saat menyadari Covid-19 telah menutup pintu perjumpaan dengan yang lain dalam seni dan kreasi. Demikian juga, saya pikir bahwa jika hidup ini tanpa komentar yang menyejukkan hati, maka dunia ini menjadi sunyi tanpa seni.

Saya percaya bahwa seni dalam memberikan komentar harus lahir dari hati yang sunyi. Hati yang sunyi pasti meluapkan kata-kata yang melahirkan damai. Ah, sekarang saya terseret kepada cerita suatu hari, bahwa saya pernah memesan buku dari penulis Amerika, Dr. David R. Hawkins hanya karena tahu bahwa dialah orang yang membahas tentang kekuatan dan energi dari kata-kata yang positif.

Saya tahu itu, bahwa kata damai memiliki level energi tertinggi kedua dari terakhir. Ya, apa salahnya jika saya menulis tentang komentar teman-teman yang telah menghasilkan damai di hati saya hari ini?

Kepada teman-teman yang telah menitipkan komentar indah penuh damai dari hati yang sunyi dan penuh seni, saya tidak memiliki kata indah selain meneruskan kata-kata dari Ibu Teresa: Karunia tulisan yang indah...Anda menyebarkan kegembiraan, cinta dan kasih sayang melalui apa yang Anda tulis. Buah dari ketiganya adalah kedamaian, seperti yang Anda ketahui..."

Ino, 20.02.2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun