Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Narasi Kasih di Tengah Badai Pandemi

28 Januari 2021   18:32 Diperbarui: 28 Januari 2021   18:35 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun 2020 rupanya tahun paling unik, tapi rasanya lebih menegangkan daripada hidup pada tahun 2000 ketika munculnya banyak peramal yang meramalkan tentang kiamatnya dunia ini. Semua ramalan tidak terjadi, bahkan kita hidup sampai tahun 2021. Dua puluh tahun berlalu, sekarang muncul ke permukaan media bukan lagi peramal, melainkan pencetus revolusi. 

Kita sebut pertama Bapak Presiden Joko Widodo menyebut gerakan revolusi mental. Kedua muncul orang seperti MRS dengan revolusi akhlaknya. Suara dan gema kedua revolusi ini jelas-jelas beda rasanya baik dari segi narasinya, maupun dari segi pendeklatornya. 

Jokowi berbicara revolusi mental berangkat dari konteks bangsa Indonesia. Sebuah konteks kehidupan yang dilematis ambivalent. Bagaimana tidak? 

Di mata dunia, Indonesia dikenal sebagai negara toleransi, namun kenyataannya tidak sedikit aksi intoleransi dalam tataran kehidupan beragama. 

Tidak hanya itu, Jokowi berbicara tentang revolusi mental berangkat dari konteks yang penuh ironi. Negara berkembang yang tidak sedikit Penduduknya miskin, namun korupsi masih saja terjadi.

Indonesia adalah bangsa yang besar dan terkenal dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang mempersatukan bangsa ini hingga berusia tua. Sebuah bangsa yang terletak di wilayah Asia dengan beraneka suku, bahasa, agama, ras terbesar di dunia. 

Namun, tidak jarang badai perpecahan atas nama agama, narasi radikalis yang menghasut dan memprovokasi, hingga caci maki dan bulli selalu menjadi warna yang rajin tampil pada setiap media sosial dan online.

Revolusi mental mesti berangkat dari konteks bangsa yang kurang lebih seperti itu. Akan tetapi, tidak cukup berangkat dari konteks umum bangsa, revolusi mental mesti mulai dari diri sendiri. Refleksi dan narasi seperti ini terlihat begitu jelas dalam diri Bapak Presiden Jokowi. 

Revolusi Mental berjalan di negeri ini tanpa darah dan kekerasan. Sebuah revolusi mental yang berjalan dengan narasi keramahtamahan (Gastfreundschaft), narasi kemajuan bangsa, narasi transparansi, narasi pembangunan Infrastruktur yang merata, narasi kesederhanaan cara birokrasi, narasi kecepatan menangkap peluang demi perubahan, narasi kedisiplinan dan anti korupsi.

Revolusi ala Jokowi rupanya begitu mendarat hingga melahirkan rasa tidak nyaman dari pihak-pihak yang hidup dengan mentalitas konsumtif, radikalis, korup dan intolerasi, sogok sana dan sini. 

Tidak kalah menarik untuk ditulis, yakni drama revolusi akhlak MRS. MRS mengawali pementasan drama revolusi akhlaknya dengan bersemi di kota suci, meski banyak asumsi dan narasi tentang MRS melarikan diri dari kasus akhlak yang lahir di tanah air sendiri. Entahkah karena konteks pribadi itu, MRS berteriak tentang revolusi akhlak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun