Harga nikel sempat tembus USD 100.000 per ton saat konflik Rusia-Ukraina meledak di awal 2022.
Sekarang? Harga tinggal USD 15.500–18.000 per ton.
Padahal, rata-rata tahun lalu masih di atas USD 21.700.
Dengan harga serendah ini, banyak perusahaan megap-megap. Tapi yang duluan roboh bukan gedung smelternya, melainkan nasib para pekerjanya.
Lalu Apa yang harus dilakukan?
-
Pemerintah perlu perkuat sistem perlindungan tenaga kerja, seperti program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang bukan cuma kasih uang, tapi juga pelatihan dan pendampingan.
Daerah penghasil tambang perlu diversifikasi ekonomi, jangan semua disandarkan ke nikel. Harus ada sektor lain yang tumbuh: pertanian, UMKM, pendidikan vokasi.
Indonesia harus naik kelas: dari sekadar ekspor bahan mentah atau setengah jadi, menjadi produsen barang akhir seperti baterai, komponen EV, atau logam paduan bernilai tinggi.
Libatkan pekerja dalam dialog dan kebijakan.
PHK massal bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keadilan dan kemanusiaan.
Maka, di tengah gejolak ini, para pekerja smelter nikel mesti bertanya, bukan hanya pada direktur, bukan hanya pada presiden komisaris, tapi pada diri kita sendiri: apa yang harus kita lakukan agar tetap bertahan, bahkan bersinar?
Dan jawablah dengan tidak retoris. Kita harus bekerja dengan kesadaran penuh bahwa masa depan tidak ditentukan oleh "siapa yang besar", tapi "siapa yang sigap beradaptasi." Di Smelter yang tidak melakukan PHK, mereka masih berdiri bukan karena mereka paling kuat. Tapi karena mereka memilih tidak silau. Mereka tahu, di balik ledakan nikel, ada syarat-syarat keberlanjutan yang harus dibayar dengan integritas, efisiensi, dan disiplin kerja yang radikal.
Mereka tidak ingin menjadi perusahaan yang hanya baik dalam iklan, tapi lemah dalam daya tahan. Mereka tidak ingin menjadi pekerja yang hanya rajin karena diawasi, tapi malas saat tak terlihat. Mereka tidak ingin menjadi bagian dari kebangkrutan yang diam-diam merayap karena ketidaktahuan diri semua pihak.
Dan kepada para pekerja Ceria, hari ini, kita masih punya pekerjaan. Besok? Kita tidak tahu. Tapi satu hal pasti: hari ini adalah satu-satunya kesempatan untuk membuktikan bahwa kita layak bertahan. Maka, bekerjalah bukan hanya demi gaji. Tapi demi kehormatan. Demi keluarga. Demi anak-anak yang akan bertanya: "Ayah, kenapa bisa bertahan saat banyak yang tumbang?"