Too much respect will kill you. Proper respect will honour you.
Respect, penghargaan dan penghormatan kepada pihak lain, hari-hari ini sedang menghadapi ujian berat di negeri ini. Indonesia yang kita banggakan adalah bangsa yang santun, ramah tamah, menghargai perbedaan tiba-tiba berubah menjadi medan perang kebencian.
Sebetulnya bukan kita, masyarakat biasa, yang terang benderang menunjukkan karakter beringas. Tetapi sebagian pemimpin, tokoh masyarakat dan pemilik amanah orang banyak yang tampaknya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan simpati publik sekaligus menyudutkan lawan.
Runyamnya, kita dianggap bodoh dengan penjelasan-penjelasan yang berputar-putar menghindari pertanggung-jawaban ketika diminta klarifikasi atas perkataan dan perbuatan mereka. Catat, ini dilakukan dua kubu pengincar tahta kepresidenan dalam skala massif dan mengkhawatirkan.
Entah kenapa para pemimpin tak tersentuh pembelajaran dari Piala Dunia 2014. Jika merujuk data bahwa Indonesia termasuk pengkonsumsi Brazil 2014 terbesar, maka – asumsinya – mereka juga menikmati suguhan fairness, sportivitas, respect yang berserakan nyaris di tiap pertandingan.
Awalnya banyak yang ragu FIFA bakal berani bersikap tegas terhadap insiden gigitan Luis Suarez terhadap Giorgio Chiellini dalam laga panas Italia vs Uruguay. Suarez adalah salah satu bintang Piala Dunia dan berstatus predator mematikan yang dipastikan bakal menambah bobot turnamen. Apalagi dia berasal dari salah satu negara di benua Amerika Latin, tuan rumah gelaran.
Tak ada toleransi terhadap sikap tidak terpuji. Dengan cepat, dan tentu saja setelah memberi kesempatan sang pemain membela diri, Suarez dihukum sangat berat dengan hukuman larangan bertanding selama 4 bulan! Apapun pembelaannya, mulai dari teori konspirasi sampai pembelaan ketidaksengajaan, hukuman tetap dijatuhkan.
Bahkan baru sekadar isu saja, penyelidikan langsung digelar. Potensi pelanggaran terhadap nilai-nilai sportivitas membuat isu adanya pengaturan skor antara Kamerun dan Kroasia diselidiki serius. Tak berlama-lama membiarkan gosip bersliweran, isu langsung dituntaskan dengan menyatakan tak ditemukan bukti adanya pengaturan skor yang masuk kategori pelanggaran berat itu.
Respect di satu sisi adalah upaya menghargai pihak lain dengan pertama-tama tidak melakukan tindakan yang merugikan ataupun merendahkan martabat pihak lain. Namun, di lain sisi juga sikap menghargai diri sendiri sebagai pihak yang pantas dan layak dihormati.
Setiap laga adalah duel untuk menentukan seberapa layak sebuah tim dipandang – sebelah mata atau dua mata. Latar belakang heroik bermunculan di balik kejutan besar Cile menjadi tim pertama yang lolos ke perdelapanfinal di Grup B, menyingkirkan dua juara dunia, dan memaksa tuan rumah Brazil hanya bisa menang lewat adu penalti.
Meksiko memang kalah dari Belanda, tapi mereka pulang dengan kepala tegak. Melulu berkat kejeniusan Louis van Gaal memanfaatkan water break dengan perubahan strategi signifikan yang membuat keunggulan 1-0 berbalik menjadi kekalahan pahit 1-2.
Sebaliknya, too much respect juga tidak baik. “Kami masih dalam taraf belajar untuk menempatkan permainan kami sendiri terhadap lawan,” kata Juergen Klinsmann, usai AS kalah dari Belgia. “Tak peduli sebesar apapun nama dan reputasi mereka, seharusnya kami bertarung sejak menit pertama. Saya pikir pemain-pemain muda ini masih menaruh respek terlalu besar terhadap lawan, khususnya jika berlaga di turnamen-turnamen besar.”
Stephen Keshi, pelatih Nigeria, juga mengeluhkan hal serupa saat timnya kalah 2-3 dari Argentina di penyisihan grup. “Kami tidak bermain apa-apa di babak pertama. Kami baru mulai memberi perlawanan di babak kedua. Para pemain terlalu menaruh respek berlebihan pada Argentina. Padahal, kami punya tim yang sangat seimbang dan tidak perlu takut terhadap nama besar Messi.”
Respect jugalah yang membuat Kolombia sekarang membuat Brazil ketar-ketir, Perancis tidak diremehkan oleh Jerman, Kosta Rika membuka kewaspadaan penuh Belanda, serta perhatian penuh Argentina pada kuda hitam Belgia.
Respek ibarat pedang bermata dua yang bisa melukai lawan pun diri sendiri. Respek sebagai senjata bisa menjatuhkan kepercayaan diri lawan sekaligus mengangkat derajat kita untuk mendapat pengakuan. Sebaliknya, tidak menghargai lawan bukan saja memberi angin segar kepada pihak lain tetapi juga membuat diri kita sendiri menjadi tidak layak mendapatkan penghargaan pihak lain.
Jika tim sepakbola saja bisa, kenapa dua kandidat calon presiden dan seluruh jajaran tim sukses serta simpatisannya tidak bisa?
[Jakarta, 03/07/14, prihatin dengan persatuan dan toleransi negeri ini...]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI