"Ini sudah bukan lagi tentang kegemaran atau minat biasa. Saat gaming mulai menggerogoti fungsi kehidupan dasar – istirahat, nutrisi, interaksi sosial, pendidikan – hal tersebut sudah termasuk ketergantungan yang membutuhkan penanganan ahli," tegas Dr. Arief.
Apabila lingkungan sekitar tidak sanggup mengenali sinyal-sinyal ketidaksesuaian ini, Gen Z terancam mengalami tekanan mental yang berlarut-larut dan berdampak pada prospek masa depan mereka. Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah memasukkan gangguan gaming ke dalam International Classification of Diseases (ICD-11) sejak tahun 2019, mengakui bahwa ini merupakan gangguan mental yang sah dan membutuhkan penanganan serius.
Saran dan upaya pencegahanÂ
Para pakar menganjurkan pendekatan menyeluruh dalam menghadapi gejala ini. Pertama, pemeriksaan psikologis rutin bagi Gen Z yang giat dalam gaming, khususnya yang bermain lebih dari 4 jam setiap hari. Kedua, pendidikan literasi digital yang memasukkan aspek kesehatan jiwa, bukan hanya keamanan dunia maya.
"Institusi pendidikan perlu memasukkan program kesejahteraan digital ke dalam sistem pengajaran. Gen Z harus dibekali pengetahuan tentang pengaturan diri, manajemen waktu, dan pentingnya harmoni kehidupan," anjur Prof. Siti.
Ketiga, partisipasi aktif orang tua dalam mengawasi tanpa bersikap mendikte. Dialog yang terbuka dan pemahaman lebih berhasil dibanding larangan tegas yang justru menimbulkan penolakan. Keempat, tersedianya layanan konseling dan terapi yang mudah diakses dan bebas stigma bagi Gen Z yang menghadapi permasalahan terkait gaming.
Industri permainan sendiri juga perlu memikul tanggung jawab sosial. Penerapan fitur pengingat waktu layar, jeda paksa setelah durasi tertentu, dan mekanisme deteksi pola bermain yang membahayakan bisa menjadi tindakan preventif. Beberapa pengembang game besar seperti Riot Games dan Tencent sudah mulai mengaplikasikan sistem ini, meskipun keefektifannya masih perlu dikaji lebih lanjut.
"Tanpa penilaian psikologis yang menyeluruh, kita hanya mengamati kulit luarnya saja. Padahal, kapasitas mental adalah pondasi yang tidak boleh dikesampingkan dalam fenomena gaming ini," tegas Rahma.
Kesenjangan antara profil gaming dan kapasitas mental Gen Z bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan tantangan masyarakat yang membutuhkan tanggapan bersama dari berbagai pihak – keluarga, lembaga pendidikan, praktisi kesehatan mental, hingga industri game itu sendiri. Hanya dengan cara yang komprehensif dan berkelanjutan, generasi digital ini bisa menikmati dunia gaming tanpa harus mengorbankan kesehatan jiwa dan prospek masa depan mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI