Gejala Mekanisme Kompensasi Mental
Di samping itu, jejak perilaku Gen Z saat bermain game juga menimbulkan kejanggalan. Banyak pemain yang kelihatan penuh percaya diri dan menguasai dalam dunia virtual, tetapi justru mengalami ketakutan bersosialisasi dan hambatan dalam berkomunikasi di kehidupan sebenarnya.
Penelitian perbandingan yang dijalankan oleh kelompok peneliti dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menemukan hubungan negatif antara jumlah jam bermain game dengan kemampuan bersosialisasi secara langsung. Makin tinggi frekuensi bermain game, makin rendah kemampuan Gen Z dalam membangun hubungan antar pribadi di dunia nyata.
"Kami mendapati 64% gamer intensif Gen Z mengalami hambatan dalam percakapan langsung, berbicara di depan umum, dan memahami isyarat sosial. Mereka lebih merasa nyaman berkomunikasi melalui pesan teks atau suara dalam game," ungkap Prof. Dr. Siti Nurjanah, M.Psi., pemimpin kelompok peneliti.
Dengan kata lain, karakter gaming mereka lebih berfungsi sebagai bentuk kompensasi kejiwaan daripada gambaran kemampuan mental yang sebenarnya. Dalam istilah ilmu psikologi, hal ini dinamakan "digital masking" – kondisi di mana seseorang membangun jati diri pengganti di dunia digital untuk menutupi rasa tidak aman atau kekurangan yang dirasakan dalam kehidupan nyata.
"Jadi dapat disimpulkan bahwa pencapaian gaming yang cemerlang mungkin hanya kedok digital, bukan representasi kesehatan mental yang sesungguhnya," kata Rahma.
Gejala ini diperburuk oleh desakan sosial dalam ekosistem gaming itu sendiri. Gen Z sering terjerat dalam "rank anxiety" – kekhawatiran berlebihan terhadap turunnya peringkat yang menimbulkan tekanan mental berkelanjutan. Mereka bersedia mengorbankan jam istirahat, pola makan yang berantakan, bahkan melalaikan kewajiban pendidikan demi menjaga kedudukan mereka dalam dunia permainan.
Konsekuensi Jangka panjang Dan Kejadian Faktual
Dalam kejadian serupa di berbagai belahan dunia, kesalahan dalam memahami pola kebiasaan gaming seringkali berakibat pada penanganan yang terlambat. Orang tua dan tenaga pendidik sering tertipu oleh prestasi gaming anak, tanpa menyadari bahwa di baliknya tersimpan masalah kejiwaan yang terabaikan.
Korea Selatan, negara dengan sektor esports paling berkembang, telah menghadapi ombak kasus serupa sejak permulaan tahun 2000-an. Pemerintah Korea bahkan mendirikan lembaga khusus untuk mengatasi gangguan gaming setelah rangkaian kasus bunuh diri dan tindak kekerasan yang berkaitan dengan kecanduan game meningkat secara signifikan.
Di tanah air, telah tercatat sejumlah kasus yang memprihatinkan. Pada pertengahan tahun 2024, seorang remaja berumur 17 tahun di Surabaya mengalami henti jantung setelah bermain game online selama 36 jam tanpa henti. Kejadian lain di Bandung melibatkan seorang mahasiswa yang mengalami gangguan kejiwaan akut dengan halusinasi penglihatan setelah bermain game maraton selama hampir tujuh hari.