Hujan deras mengguyur Bali awal pekan lalu. Dalam hitungan jam, air bah meluap dari sungai-sungai, menyeret lumpur, kayu, dan bebatuan. Jalan terputus, rumah-rumah terendam, warga berlarian menyelamatkan diri.
Sebanyak 18 orang meninggal dunia, 4 orang hilang, dan ratusan lainnya mengungsi. Ada 123 titik terdampak di enam kabupaten/kota. Pulau yang selama ini dikenal sebagai surga pariwisata seketika berubah menjadi genangan duka.
Namun, banjir bandang di Bali bukan sekadar akibat cuaca ekstrem. Bencana hidrometereologi ini merupakan cermin buram dari pembangunan yang menyelisihi keseimbangan alam.
Wajah Pembangunan Kapitalistik
Sebagai destinasi wisata dunia, Bali mengalami lonjakan pembangunan hotel, vila, dan cottage, terutama di kawasan lereng bukit, sawah, hingga daerah resapan air. Lahan yang semestinya menyerap air hujan berubah menjadi bangunan permanen dan beton. Daya serap tanah pun berkurang drastis.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, mengakui, "Banjir di Bali terjadi akibat kombinasi cuaca ekstrem, tutupan hutan rendah, tata kelola sampah yang belum maksimal, dan alih fungsi lahan" (Kumparan.com, 13/9).
Sejumlah fakta memperlihatkan kerusakan ekologi yang serius. Hutan di hulu Gunung Batur kini hanya tersisa 1.200 hektar dari total 49.000 hektar. Di hilir, Tukad Badung menyempit akibat padatnya bangunan, membuat aliran air terhambat.
Pakar tata ruang, I Gusti Ngurah Serina, menambahkan, "Banyak bangunan berdiri di bantaran sungai, ini jelas pelanggaran tata ruang. RTRW hanya jadi formalitas tanpa implementasi tegas" (Kompas.id, 11/9).
Pernyataan ini menegaskan bahwa aturan memang ada, tetapi dalam praktiknya investor lebih mudah mendapat izin, meski kepentingan ekologi terabaikan.
Fenomena ini menggambarkan wajah pembangunan kapitalistik. Orientasi keuntungan jangka pendek lebih diprioritaskan, sedangkan daya dukung alam diabaikan. Bali hidup dari pariwisata, namun justru sektor pariwisata yang membebani lingkungan. Ironisnya, ketika bencana datang, rakyat kecil yang paling menderita, bukan pemilik modal.
Alam adalah Amanat, Bukan Objek Eksploitas
Dalam Islam, alam adalah amanat. Air, hutan, dan sungai adalah milik bersama yang wajib dijaga demi kelangsungan hidup manusia. Al-Qur'an telah memperingatkan, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia" (QS Ar-Rum: 41). Kerusakan ekologis yang kini kita saksikan adalah buah dari ulah manusia sendiri.