Di banyak sudut Indonesia, alam kian terasa asing. Jakarta berulang kali masuk daftar kota dengan polusi udara terburuk dunia dengan konsentrasi PM2.5 tujuh kali lipat di atas ambang aman WHO. Akibatnya, lebih dari 200 ribu kasus ISPA tercatat setiap bulan di Jabodetabek, dengan beban ekonomi mencapai Rp 51 triliun per tahun yang setara dengan anggaran membangun ratusan rumah sakit.
Di Kalimantan, banjir besar 2021 merendam 11 kabupaten. Lebih dari separuhnya berada dekat area konsesi tambang dan sawit. Riau dan Kalimantan pun setiap kemarau menjadi langganan kebakaran hutan, mengirim asap hingga ke negeri tetangga.
Kita sering menyebut semua ini "bencana alam", padahal fenomena ini di antaranya merupakan buah dari cara kita memperlakukan bumi.
Kapitalisme dan Jejak Ekologisnya
Sistem kapitalisme memuja pertumbuhan tanpa batas. Hutan dihitung sebagai angka ekspor, sungai jadi saluran limbah industri, udara jadi papan iklan asap pabrik, tanah dikeruk dengan mengabaikan bentang alam. Ironisnya, 10% kelompok terkaya dunia menyumbang hampir 50% emisi karbon, sementara separuh penduduk termiskin hanya menyumbang sekitar 10%.
Bumi punya batas daya dukung. Ketika kita melampauinya, tagihan datang dalam bentuk banjir, longsor, kekeringan, bahkan krisis pangan.
Ekonomi dengan Batas Moral
Islam memandang bumi sebagai amanah, bukan komoditas eksploitasi.
Al-Qur'an mengingatkan:
"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya." (QS Al-A'raf: 56)
Rasulullah saw bersabda:
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR Ibnu Majah)
Artinya, air, energi, dan sumber daya vital seharusnya dikelola negara untuk kepentingan umum, bukan dimonopoli segelintir kapitalis.