Mohon tunggu...
Ahmad Setiawan
Ahmad Setiawan Mohon Tunggu... Editor - merawat keluarga merawat bangsa

kepala keluarga dan pekerja media

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemana Pariyem dan Paijo Menghilang?

12 November 2013   22:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:15 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak menyadari bahwa manusia tak lebih dari sekedar nama-nama, saya mulai mencari-cari nama yang pernah ada. Dulu, Muso, Aidit, Tan Malaka, Marhaen pernah begitu terkenal pada masanya. Tetapi setelah 1965, saya tidak pernah sekalipun menemukan nama-nama itu. Kalaupun ada itu hanyalah julukan ataupun bahan candaan di ruang-ruang diskusi mahasiswa. Tragedi politik membuat para orang tua seperti mengharamkan anak mereka dengan nama-nama itu. Atau bahkan yang berbau seperti itu. Bahkan, saya belum pernah menemukan seseorang yang dilahirkan setelah tahun 1965 dengan nama Soekarno. Sama halnya, setelah Orde Baru tumbang. Hingga kini, saya belum pernah sekalipun menemukan seorang anak atau remaja yang bernama Suharto.

Hal yang sama juga saya alami saat mencari-cari nama Pariyem, Juminten, Paijo, Kartiyem, dan nama-nama sejenis itu. Padahal, nama Pariyem dulu sangat kuat tertancap di kepala saya setelah membaca novel karya Linus Suryadi yang berjudul Pengakuan Pariyem. Kisah tentang seorang pembantu yang menjalin cinta terlarang dengan anak majikannya. Ya, nama seperti Pariyem dan sebangsanya itu memang seperti nama yang diperuntukkan khusus untuk pembantu. Nama yang berasal dari kasta pariya. Entah siapa dan dari mana asalnya tradisi penamaan yang buruk itu. Di Indonesia, nama-nama tertentu memang menunjukkan status sosial dan budaya pemiliknya. Hingga membuat membuat Gubernur Banten mencantumkan Ratu di depan nama aslinya. Demikian pula dengan adiknya. Di dunia hiburan, nama kampung diubah menjadi nama panggung. Casmali disulap menjadi Charly Van Houten. Yulia Rahmawati kini menjadi Julia Perez.

Apalah arti sebuah nama, begitu kata Shakespeare, seperti sering dikutip banyak orang. Namun, bagi sebagian orang, nama bisa berarti penangkal takdir buruk. Dalam buku autobiografinya Penyambung Lidah Rakyat, Bung Karno bercerita nama lahirnya adalah Kusno. Namun karena menderita sakit-sakitan, ayahnya, yang seorang penganut teosofi mengganti namanya dengan nama salah satu tokoh dalam dunia pewayangan Mahabaratha, Karna, yang berarti kuping. Dinamakan Karna karena ia dilahirkan melalui lubang kuping sang bunda, Dewi Kunti. Ajaibnya, nama itu menyembuhkan Bung Karno kecil. Sejak namanya diganti, putera sang fajar itu tak menderita sakit-sakitan lagi. Cerita yang sama tentang hal ini juga pernah saya dengar beberapa kali.

Pun, nama adalah politik identitas. Di negeri-negeri barat sana, Anda bisa membedakan agama dan asal usul ras seseorang hanya berdasarkan namanya. Di Indonesia hal itu tak berlaku. Guru matematika SMP saya bernama Yohannes adalah seorang muslim. Sebaliknya, saya pernah mengenal seseorang yang bernama Abbas Yahya dan ternyata pengikut Kristiani. Di Sumatera Utara, nama Joko, Budi, Wati, Sri, Dayu atau Tuti dan sebangsanya bukanlah nama-nama monopoli orang Jawa.

Maka, jangan menilai seseorang hanya dari namanya. Saya sedikit masygul ketika KPK menangkap Ahmad Fathanah dan menjadikannya sebagai terpidana kasus korupsi. Bukan hanya karena nama saya Ahmad, tetapi juga karena kelakuan si ustad kecil dengan perempuan-perempuannya yang dibongkar media massa. Ada juga Ahmad Jauhari yang ditangkap KPK karena korupsi Al Quran. Nama berbau surga seperti Angelina juga ternyata diputus pengadilan sebagai pendosa. Padahal, nama adalah doa. Saya membayangkan saat-saat di mana orang tua berikhtiar dalam mencari nama-nama seperti Lutfi, Ahmad Fathanah, Ahmad Jauhari, Muhammad Nazaruddin, dan semua yang ditangkap KPK lainnya untuk anak mereka sambil terus berdoa. Tetapi perbuatan anak-anak mereka kini menghapus doa-doa itu.

Kompas.com baru saja menayangkan berita mengenai Batman bin Suparman, warga negara Singapura yang menjadi pencuri. Ia menjadi terkenal karena ada paradoks di situ. Nama super hero tetapi kelakuan zero. Tetapi, saya juga pernah berkawan dengan Betmen Sebayang. Seorang aktivis mahasiswa dari Universitas Janabadra Yogyakarta angkatan 80-an yang melawan rezim Soeharto dengan keberaniannya. Ia yang bersama ribuan aktivis lainnya memilih untuk tidak menjadi paradoks dan tidak terkenal.

Nama seperti Pariyem dan sebangsanya memang hanya untuk pembantu. Tetapi menjadi pembantu di zaman sekarang juga tidak bisa dipandang enteng. Pembantu tetangga saya setiap hari berseliweran naik sepeda motor mengantar jemput anak majikannya sekolah atau ke pasar. Ia juga memegang ponsel dengan pulsa yang tidak pernah kosong. Kadang, ia juga ikut majikannya berlibur ke luar kota. Bahkan, juga ke Singapura. Supir Akil Mochtar malah diduga ikut menerima dana hasil korupsi majikannya. Namun, kenyataan itu tidak menghalangi Pariyem, Juminten, Paijo dan sebangsanya menghilang dari peredaran nama-nama. Mereka digilas peradaban modern yang kian egaliter dan rasional.

13 November 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun