Berawal dari kecintaan akan budaya Nono Niha (Orang Nias), menjadi dorongan untuk bagi saya untuk mencoba menulis ke media apa saja yang diketahui dan dialami dalam hidup ke seharian sebagai Ono Niha. Tepatnya pada hari Rabu, 05 Mei 2021, saya mempublikasikan sebuah artikel yang berjudul: "Skhi Mate Moroi Aila, Suatu Filosofi Jati Diri Ono Niha" ( https://www.kompasiana.com/ingatan44910/609210728ede48631715d9d2/sokhi-mate-moroi-aila-suatu-filisofi-jati-diri-ono-niha ). Dari tulisan tersebut, beberapa orang rekan memberikan dorongan kepada saya untuk tetap melanjutkan tulisan tersebut.
Seiring berjalannya waktu, seorang teman di salah satu grup memberi informasi bahwa ada Webinar Ono Niha yang bertemakan: "Sokhi Mate Moroi Aila" pada hari Minggu, 30 Mei 2021, pada pukul 17.00-19.00 wib. Mendapat informasi itu, saya merasa ini salah satu tanggapan dari tulisan yang pernah saya publikasikan tersebut. Tidak pikir panjang, saya mendaftarkan diri dan mengkuti Webinar tersebut tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Acara yang diselenggarakan oleh DPC HIMNI Kota Bandung tersebut, dibuka oleh Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia, Bapak Prof. Suahasil Nazara, S.E., M.Sc., Ph.D. Walaupun tidak lahir di tanah Nias, beliau yang masih berdarah Nias mengakui bahwa filosofi Sokhi Mate Moroi Aila (lebih baik mati dari pada menanggung malu) memiliki nilai luhur perjuangan dalam menggapai. Selain itu, tampil menjadi narasumber dalam acara webinar ini adalah Bapak Pdt. Dr. Tuhony Telaumbanua, M.Si (Ephorus BNKP); Marinus Gea, S.E.,M.Ak (Ketua Umum HIMNI) dan Dr. Kasianus Telaumbanua, S.H., M.H (Hakim Tinggi Jambi). Yang menjadi moderator selama webinar ini adalah: P. Onesius Otenieli Daeli, Ph. D (Dosen UNPAR).
Dalam pemaparannya, Bapak Pdt. Tuhony Telaumbanua lebih menekankan pendasaran munculnya filosofi ini serta penerapannya dalam hidup harian Ono Niha. Bapak Marinus Gea lebih melihat filosofi ini dalam hidup harian saat ini, terlebih untuk semangat Ono Niha dalam menggapai cita-cita dan kesuksesan. Di bagian akhir Bapak Kasianus Telaumbanua lebih melihat efek hukum yang timbul dari filosofi ini. Semua ini menjadi sangat menarik bagi saya ketika seorang peserta bertanya "Bagaimana filosofi ini jika dibalik: Sokhi Aila Moroi Mate".
Menanggapi pertanyaan ini, secara pribadi saya melihat bahwa filosofi ini bisa saja dibalik seiring dengan situasi dan kondisi yang ada, "tanpa merubah makna aslinya". Hal ini jika ditinjau dari beberapa aspek, terutama saat ini yang memasuki era milenial. Hal ini secara tersirat sudah mulai dilirik oleh ketiga narasumber. Walaupun demikian, hal ini bisa diuraikan sebagai berikut:
Pertama-tama, dari pemaparan Pdt. Tuhony Telaumbanua terlihat jelas bagaimana proses munculnya filosofi skhi mate moroi aila. Filosofi ini muncul di kalangan Ono Niha karena kehendak dan keinginan untuk mencari "LAKHOMI" (Kemuliaan; Kewibawaan; Keterpandangkan). Kehendak dan keinginan ini kadang-kala menjadi tujuan hidup bagi sebagian orang, karena dengan demikian ia dapat mencapai kepenuhan dirinya. Pertanyaannya adalah: apakah dengan mendapat "Lakhomi" masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang dialami dapat teratasi? Tentu sudah pasti tidak semua terselesaikan.
Abraham Maslow dalam teori kebutuhan manusia menjelaskan bahwa ada Lima tingkatan kebutuhan manusia; Fisiologis, Rasa Aman, Sosial, Penghargaan, dan Aktualisasi Diri. Dari kelima tingkatan kebutuhan manusia ini, lakhomi barulah berada dalam tingkatan keempat. Dengan demikian, pencarian lakhomi bukanlah menjadi perjuangan akhir dari kebutuhan manusia. Apa gunanya mendapat lakhmi ketika kebutuhan fisiologi, rasa aman dan hubungan sosial tidak terpenuhi.
Bagian kedua; dalam proses pencarian "lakhomi", Ono Niha tidak pernah mengenal kata mengalah. Karena sifat yang tidak mau mengalah, Ono Niha juga tidak segan-segan untuk mengorbankan segala sesuatu bahkan mau meminjam dan meninggalkan jejak utang tersebut sampai kepada anak cucunya. Dari situasi seperti ini, lakhmi yang didapatkan menjadi tidak ada gunanya dan hanya terkesan seperti berlalu saja.
Dari teori Abraham Maslow yang telah dijelaskan diatas tentu kita kembali bertanya, apa gunanya lakhmi yang sudah didapatkan itu. Lakhomi yang didapatkan dengan mengedepankan kata tidak mau mengalah dan apa lagi dengan mengorbankan segala sesuatu dan atau meminjam, bukan lagi lakhmi yang bernilai positif yang didapat, akan tetapi keburukan atau nilai negatif. Bagaimana hal ini tidak terjadi, hal yang menjadi dasar dari lakhmi itu sendiri telah menjadi hancur.