Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Drone untuk Menjaga Kekayaan Sumber Daya Alam dan Keamanan Indonesia

23 Juni 2014   17:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:35 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14034928711381024393

Dalam debat Capres 2014 (Jakarta, 22/6-2014) antara Prabowo Subianto (Nomor Urut 1) dan Joko Widodo yang lebih dikenal sebaga Jokowi (Nomor Urut 2). Capres Jokowi memberikan langkah konkret untuk melindungi kekayaan alam Indonesia, terutama potensi laut, yaitu patroli dengan menggunakan kapal terbang tanpa awak atau drone.

Jokowi benar karena kalau mengandalkan patroli laut dengan kapal laut dan patroli udara dengan kapal terbang tidak akan efektif karena berbagai faktor, al. radius patroli yang terbatas dan bisa langsung diketahui pihak “lawan”.

Harta Karun

Dengan memakai drone kapal-kapal asing penangkap ikan ilegal tidak mengetahui kehadiran drone. Memang, bisa saja ada radar di kapal pencuri ikan. Tapi, karena jangkauan drone sangat luas dan cepat maka antisipasi aparat keamanan lebih cepat bergerak daripada langkah kapal-kapal pencuri ikan.

Wilayah laut teritorial Indonesia ditetapkan sejauh 12 mil laut dari garis pantai terluar. Sedangkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yaitu perairan yang diukur dari garis pantai terluar sejauh 200 mil laut ke laut lepas. ZEE Indonesia ini memberikan hak kepada Indonesia untuk mengelola kekayaan sumber daya alam pada zona ini.

Indonesia memiliki luas lautan 5,8 juta km persegi yang terdiri atas perairan teritorial, perairan laut 12 mil dan perairan ZEE Indonesia.  Dengan 17.504 buah pulau panjang garis pantai Nusantara mencpai 104.000 km.

Itu artinya kekayaan alam di lautan sangat besar sehingga diperlukan pengawasan yang efektif.

Secara teknis dengan tiga drone, seperti diusulkan Jokowi, tentulah bisa diatur letak armada laut dan udara yang dengan cepat bsia bergerak ke titik-titik koordinat kapal penangkap ikan liar yang dideteksi drone.

Selain mengawasi laut, drone juga diandalkan untuk memantau pembakaran hutan dan pembalak liar.

Upaya untuk mengawasi penebangan liar dan penebangan pohon di bawah diamter yang ditentukan dengan penginderaan satelit pernah diusulkan oleh Ir Toga M Sitompul, ketika itu Direktur Utama PT Surveyor Indonesia pada Menteri Kehutanan Dr Ir Muslimin Nasution (Menhut Kabinet Reformasi Pembangungan Priode 1998-1999).

Toga menawarkan penginderaan jarak jauh dengan memanfaatkan satelit untuk mengawasi penebangan pohon di areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) terkait dengan diamter batang pohon yang boleh ditebang.

Bukan hanya untuk memantau diamter kayu yang ditebang, tapi juga untuk menghitung batang kayu atau pohon yang ditebang. Jumlah tebangan ini erat kaitannya dengan retribusi dan pajak sehingga dengan penginderaan satelit tidak mungkin lagi terjadi negosiasi antara pihak-pihak terkait.

Begitu pula dengan pengawasan kekayaan laut, seperti ikan, terumbu karang dan harta karun juga bisa diawasi melalui penginderaan satetlit selain drone.

Kongkalikong

Dengan luas lautan 5,8 juta km persegi dan garis pantai 104.000 km tentulah tidak mudah mengawasinya melalui patroli laut dan darat. Lagi pula karena di dalam kegiatan operasional patroli ada manusia, maka akan muncul persoalan terkait dengan negosiasi.

Sedangkan satelit dan drone dikendalikan dari satu pusat operasi yang bisa diawasi langsung oleh presiden, menteri atau pejabat yang ditunjuk sehingga sangat sulit terjadi kongkalikong (KBBI: 1atidak jujur; tidak terang-terangan; sembunyi-sembunyi;2nperihal tahu sama tahu (dalam melakukan sesuatu yang tidak baik); sekongkol) atau negosiasi.

Kegagalan patroli laut dan darat di perbatasan, misalnya, sudah terbukti tidak bisa melindungi tanah negeri dari penguasaan asing, seperti yang terjadi pada Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (dua-duanya di Kalimantan Timur dahulu sekarang lepas ke Malaysia) dan pembangunan mercusuar di Tanjung Datok, Kalimantan Barat, yang dilakukan oleh Malaysia.

Membangun mercu suar itu tentulah tidak satu atau dua jam, dan tidak pula satu atau dua hari, tapi berhari-hari. Namun, tetap saja tidak terpantau oleh patroli laut dan darat di perbatasan (Lihat: Malaysia Bangun Mercusuar di Tanjung Datuk, Indonesia Murka - http://hankam.kompasiana.com/2014/05/29/malaysia-bangun-mercusuar-di-tanjung-datuk-indonesia-murka-655472.html).

Tentu akan lain halnya kalau patroli dilakukan dengan pengindaraan drone dan satelit. Setiap gerakan di darat terpantau sehingga pusat komando dengan segera memerintahkan pasukan di laut dan darat ke titik koordinat tempat kejadian perkara (TKP).

Gagasan Capres Jokowi menjaga wilayah Nusantara dengan menggunakan drnoe memang langkah kecil, tapi merupakan lompatan besar bagi pengamanan negeri ini dari pencurian ikan, perusakan terumbu karang, pencurian harta karun, penebangan kayu dan invasi (dari berbagai sumber). ***[Sumber: Syaiful W. Harahap/baranews.co]***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun