Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beban Utang Negara antara Pajak, Korupsi, dan Simpan Uang di Luar Negeri

28 Juli 2017   10:36 Diperbarui: 28 Juli 2017   19:03 1816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: www.makeuseof.com)

Tiaptahun Pemerintah RI harus bayar utang yang jatuh tempo sebesar Rp 220 triliun. Celakanya, dana dalam negeri tidak bisa diandalkan untuk membangun infrastruktur yang terbengkalai selama ini dan pembangunan infrastruktur baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menghilangkan kesenjangan antar pulau dan daerah.

Selama ini pembangunan, terutama infrastruktur, terpusat di Pulau Jawa dan sedikit ke Pulau Sumatera dan Pulau Bali. Ini yang disebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai 'Jawa Sentris'. DI era pemerintahannya Jokowi ingin mengubah paradigma pembangunan yaitu 'Indonesia Sentris' dengan pola pembangunan dari pinggir yakni daerah-daerah di luar Pulau Jawa.

Bayar Utang

Maka, dibangunlah jalan tembus di Bumi Cenderawasih yaitu di Papua dan Papua Barat. Bahkan, akan disusul dengan pembangungan rel kereta api (KA) yang akan menghubungkan kota-kota di pesisir utara pulau itu. Begitu juga dengan Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan diwarnai dengan pembangunan jalan tol dan rel KA.

Deerah-daerah terluar yang berbatasan dengan negara lain juga dapat porsi besar dengan pembangunan sarana dan prasarana, seperti jalan raya dan pos perbatasan.

Tentu saja pembangunan infrastruktur itu membutuhkan dana yang besar. Dana yang dibutuhkan tidak tersedia dalam negeri karena keterbatasan pemasukan dan kebocoran di sana -sini melalui suap dan korupsi besar-besaran. 

APBN tahun 2016, misalnya, ditetapkan Rp 2.095 triliun dengan pendapatan dari sektor pajak Rp 1.546,7 triliun. Untuk mendorong pembangunan infrastruktur yang memerlukan dana yang besar tentulah tidak bisa diharapkan hanya dari pendapatan dalam negeri sehingga diperlukan dana dari sumber lain. Kalau pendapatan negara dari pajak besar tentu tidak perlu lagi ngutang. Lagi pula Pemerintahan Jokowi/JK menggenjot pembangunan infrastruktur sehingga memerlukan dana yang besar.

Salah satu sumber dana adalah dana dari luar negeri melalui badan-badan internasional dalam bentuk pinjaman (baca: utang). Belakangan muncullah kecaman terhadap utang RI yang terus bertambah. Celakanya, kecaman tidak objektif karena tidak menyebutkan bahwa pertambahan utang itu juga terjadi karena kewajiban negara membayar utang yang jatuh tempo setiap tahun Rp 220 triliun. Dalam bahasa Menko Ekuin, Darmin Nasution, "Sebetulnya pemerintah enggak buat apa-apa (bangun infrastruktur) pun utang pemerintah akan nambah." (kompas.com, 24/7-2017).

Utang yang selama ini tidak jelas juntrungannya karena banyak proyek yang mangkrak dan tidak ada pembangunan yang ril. Sekarang utang diwujudkan dalam bentuk infrastruktur, seperti jalan raya, jalan tol, rel KA, bendungan, dam, dll. Ini kasat mata dan bisa diaudit dengan takaran yang akurat. Bandingkan dengan pembangunan sebelum Pemerintahan Jokowi-JK yang juga dengan uang pinjaman tapi tidak jelas apa yang dinikmati rakyat.

Mengecam boleh-boleh saja, tapi akan lebih arif kalau dibalikkan ke diri sendiri.

Apa yang sudah saya berikan kepada negara?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun