Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Hanya Sebatas Orasi Moral

1 Agustus 2019   19:24 Diperbarui: 1 Desember 2019   08:34 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sosialisasi mengenai HIV/AIDS (Sumber: in.one.un.org)

"Indonesia diperkirakan gagal mencapai target penanggulangan HIV/AIDS pada 2020. Kendala teknis dan stigma diduga jadi penyebabnya." Pernyataan ini ada dalam berita "Terburuk ke-7 di Asia, RI Terancam Gagal Capai Target Penanggulangan HIV/AIDS" (VOA Indonesia, 31/7-2019).

Kesimpulan dalam pernyataan di atas jelas ngawur bin ngaco.

Pertama, stigma (pemberian cap buruk) ada di hilir yaitu pada orang-orang yang sudah tertular HIV/AIDS dan terdeteksi melalui tes HIV.

Kedua, orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS sebagian besar sudah menjalani pengobatan yaitu dengan terapi obat antiretroviral (ARV) sehingga menurunkan risiko menularkan.

Ketiga, kendala teknis apa?

Penanggulangan HIV/AIDS yang dimaksud berhasil pada tahun 2020 adalah tidak ada lagi infeksi HIV baru. Ini 'kan sama saja dengan angan-angan sebagai bunga tidur di siang bolong. 

Soalnya, sejak awal epidemi HIV/AIDS yang diakui pemerintah yaitu tahun 1987 tidak ada program riil dan konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru di hulu yaitu pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Dok AWI
Dok AWI
Estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2016 disebutkan 640.443, tapi per 31 Maret 2019 baru 453.964  yang terdeteksi atau  70,88 persen yang terdiri atas 338.363 HIV dan 115.601 AIDS (Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 11/5-2019).

Dikatakan oleh Direktur Eksekutif Rumah Cemara, Aditia Taslim, jika banyak orang tidak mengetahui status HIV-nya, bisa saja mereka menularkannya kepada orang lain.

Yang jadi persoalan besar adalah tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang tersembunyi di masyarakat. Dalam epidemi HIV/AIDS disebut sebagai bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut, sedangkan kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut.

Yang terjadi salama ini al. adalah penjangkauan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan bantuan donor asing. Tapi, sejak Presiden SBY memasukkan Indonesia dalam kelompok negara G-20 Indonesia tidak boleh lagi menerima hibah (grant) dari luar negeri. 

Akibatnya, penjangkauan terkendala dan kasus HIV/AIDS banyak ditemukan secara pasif yaitu ketika pengidap HIV/AIDS berobat ke Puskesmas atau rumah sakit dan tes HIV terhadap ibu hamil.

UNAIDS, Badan PBB yang mengangai HIV/AIDS melancarkan isu 90-90-90 yaitu 90 persen Odha tahu status HIV-nya, 90 persen dari Odha itu menjalani terapi ARV, 90 persen menekan kematian.

Disebutkan dalam berita: Mengejar target, pemerintah Indonesia meluncurkan strategi STOP atau singkatan dari Suluh Temukan Obati Pertahankan.

Persoalannya, apa cara-cara yang konkret untuk mendeteksi warga yang tertular HIV/AIDS tapi tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengidap HIV/AIDS?

Tidak ada!

Itulah yang terjadi di Indonesia. Penanggulangan hanya di hilir yaitu tes HIV dan terapi ARV, sementara insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa terus terjadi. Bahkan, suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS banyak yang menolak tes HIV sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV baru.

Keberhasilan Thailand menanggulangi HIV/AIDS adalah melalui program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang ngeseks dengan PSK di tempat-tempat pelacuran. Nah, ini dicangkok di Indonesia tapi praktek PSK tidak lagi dilokalisir sehingga intervensi tidak bisa dilakukan.

[Baca juga: Program Penanggulangan AIDS di Indonesia Mengekor ke Ekor Program Thailand]

Transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung sehingga insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

Celakanya, banyak laki-laki yang tidak merasa berisiko tertular HIV karena mereka ngeseks dengan PSK tidak langsung.

[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]

Selama tidak ada intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko, terutama dengan PSK, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun