Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perbincangan Tsunami Tanpa Upaya Riil Mencegah Korban

25 Desember 2018   13:01 Diperbarui: 25 Desember 2018   13:27 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kecepatan tsunami di Selat Sunda (diolah penulis dengan peta dari Google Map)

*Peringatan dini abaikan kecepatan gelombang tsunami 

"Tittt ....titttt .... tittt" Ponsel diangkat. Di layar terbaca "PERINGATAN DIRI TSUNAMI". Buarrrrrrrrrrrrrrrrr .... Dinding depan rumah rubuh ....  Ketika terbangun sudah terbaring di rumah sakit. Atau, maaf, malah sudah ada di alam baka.

Ilustrasi: SMS peringatan dini tsunami (Sumber: gitews.org)
Ilustrasi: SMS peringatan dini tsunami (Sumber: gitews.org)
Itu gambaran riil jika kita mengikuti anjuran banyak kalangan terkait dengan penanggulangan dampak tsunami yaitu mengaktifkan peringatan diri (early warning system). Soalnya, seperti dijelaskan oleh Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, pada konferensi pers (24/12-2018) yang disiarkan beberapa stasiun televisi swasta nasional peringatan diri disampaikan maksimal 5 menit setelah ada aktivitas yang memicu tsunami.

Kecepatan Gelombang

Maka, Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) juga meminta agar BMKG dan BPBD  segera melengkapi dan memperbaiki alat pendeteksi bencana atau early warning system (EWS). Hal ini dilakukannya, guna mencegah banyaknya korban jiwa jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam seperti di Perairan Selat Sunda (newsdetik.com, 24/12-2018).

Sebelumnya ada Megawati Soekarnoputri, Presiden RI ke-5, yang juga berbicara soal peringatan dini: "Kita manusia yang diberi pikiran, sehingga harus cari cara agar ini bisa dihadapi. Makanya harus ada early warning system," ujar Megawati saat memberikan sambutan pelepasan bantuan untuk Palu-Donggala, Sulawesi Tengah di Kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan (8/10/2018) (liputan6.com, 8/10-2018).

Dengan kecepatan gelombang tsunami di permukaan air laut antara 650 - 940 km/jam, maka dalam waktu 5 menit lidah gelombang tsunami sudah menempuh jarak 54 -- 78 km dari pusat tsunami. Jika hal ini terjadi di Selat Sunda, maka dalam waktu 5 menit lidah tsunami sudah sampai kedaratan pesisir barat Banten dan dua menit lagi mencapai pesisir selatan Lampung.

Apa yang bisa dikerjakan dalam waktu sekejap setelah ada bunyi sirene peringatan tsunami?

Praktis tidak ada. Berserah diri kepada-Nya pun tidak sempat karena baru membaca baris pertama SMS di ponsel sudah tidak mengetahui apa yang terjadi selanjutnya. Bayangkan seorang ibu sedang menyusui bayinya, tiba-tiba bunyi sirene peringatan tsunami. Apakah ibu ini bisa langsung berlari ke luar rumah menggendong bayinya? Kalau ada mertua yang lansia di rumah jadi urusan pula.

Dok Pribadi
Dok Pribadi
Di running text Stasiun TV "CNN Indonesia" (25/12-2018) tertulis: Wagub Banten Desak BMKG Maksimalkan Teknologi Terkait Tsunami.

Sempadan Pantai

Pernyataan Wagub Banten, Andika Hazrumy, seperti di running text itu bukan solusi jitu karena jika dikaitkan dengan waktu penyebaran peringatan dini melalui telekomunikasi, seperti ponsel, dengan pesan singkat (SMS) ada rentang waktu antara kejadian yang memicu tsunami sampai SMS terkirim ke ponsel warga. 

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyebutkan sejak ada pemicu gelombang sampai SMS terkirim maksimal membutuhkan waktu 5 menit. Dengan kecepatan gelombang tsunami antara 650 -- 940 km/jam adalah hal yang mustahil bisa menyelamatkan diri jika berada di zona terjangan lidah tsunami. Jepang yang menguasai berbagai teknologi canggih tetap memilih relokasi.

[Baca juga: Tanpa Regulasi, Tsunami akan Terus Makan Korban dan Relokasi Permukiman dan Garis Pantai yang Terdampak Bencana Tsunami]

Kalau saja Wagub Banten mengaitkan kerusakan akibat terjangan tsunami dengan letak bangunan, baik untuk permukiman, usaha dan sarana pariwisata dengan jarak terjangan lidah tsunami tentulah yang diutamakan bukan memaksimalkan peralatan terkait tsunami tapi membebaskan zona tunjaman tsunami dari kegiatan warga.

[Baca juga: Tsunami Banten dan Lampung Selatan, Tidak Bercermin dari Tsunami Palu?]

Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir di Pasal 31 ayat 1 dan 2 a disebutkan: Pemerintah Daerah menetapkan batas Sempadan Pantai yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain. Penetapan batas Sempadan Pantai mengikuti ketentuan perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami.

[Baca juga: Mitigasi Tsunami, Peringatan Dini vs Relokasi]

Ketentuan di atas dipertegas lagi melalui Peraturan Presiden No 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Pada Pasal 9 ayat 2 huruf b (1 dan 2) disebutkan: Pendekatan praktis  dilakukan berdasarkan keberadaan faktor ancaman gempa dan tsunami. Yang selanjutnya di Pasal 11 ayat huruf a, b dan c disebutkan: Keberadaan faktor ancaman tsunami  ditentukan berdasarkan:   zona penunjaman (subduction zone);   sesar (fault) di dasar laut; dan/atau gunung api dasar laut.

Di Pasal 12 ayat 4 huruf b disebutkan: Parameter setiap jenis ancaman bencana tsunami, diukur dari tinggi gelombang dari muka air laut sebelum tsunami datang dan tinggi genangan pada lokasi dengan jarak 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Dengan berpijak pada sejarah tsunami yang pernah menghantam pesisir barat Banten tentulah keberadaan bangunan baik permukiman, warung, kantor-kantor pemerintah, penginapan, losmen, hotel, resor, villa dan cottage di sepanjang garis pantai pasang berlawanan dengan aturan.

Panggung yang dipakai band "Seventeen" pada acara gathering keluarga PLN di Tanjung Lesung, Banten, misalnya, hanya berjarak 3-4 meter dari laut (kompas.com, 23/12-2018). Celakanya, panggung membelakangi laut dan ditutup pula sehingga tidak bisa dilihat apa yang terjadi di laut. Kalau saja panggung menghadap ke laut tentulah lain ceritanya tidak seperti yang terjadi beberapa personil band itu tewas diterjang arus tsunami ketika sedang manggung.

The Lost City

Laporan menyebutkan sejak tahun 416 sampai tsunami 22/12-2018 sudah 12 kali tsunami menghantam pesisir barat Banten. Tsunami yang terjadi tahun (1) 416, (2) Oktober 1722,  (3) 24 Agustus 1757, (4) 4 Mei 1851, (5) 9 Januari 1852, (6) 27 Agustus 1883, (7) 10 Oktober 1883, (8) Februari 1884, (9) Agustus 1889, (10) 26 Maret 1928, (11) 22 April 1958, dan (12) 22 Desember 2018 (news.detik.com, 23/12-2018).

Antropolog di Banten, (alm) Dr Halwany Michrob, dalam berbagai kesempatan berbincang dengan penulis di tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an mengatakan bahwa ada beberapa 'kota' di Labuan yang tertimbun akibat letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Halwany menyebut di Caringin, antara Labuan dan Carita, sebagai 'the lost city'. Halwany sudah merancang ekskavasi (penggalian yang dilakukan di tempat yang mengandung benda purbakala), tapi ajal keburu menjemputnya. Padahal, menurut Halwany, Caringin bisa jadi salah satu dari sedikit tempat ekskavasi di dunia.

Daripada mengandalkan sirene peringatan dini dengan kemungkinan penyelamatan yang sangat kecil adalah lebih arif mengikuti jejak Jepang yang merelokasi permukiman dari zona terjangan tsunami. Jalan tengah bisa dengan meningkatkan teknologi peringatan dini tsunami dan sekaligus membebaskan zona tumbukan tsunami dari berbagai kegiatan.

[Baca juga: Hanya Berkutat Seputar (Penyebab) Tsunami]

Celakanya, di era otonomi darah tidak ada lagi garis komando dari Pemerintah Pusat ke pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Itulah sebabnya UU dan Perpres tentang sempadan pantai diacuhkan daerah. Biarpun ada ketentuan (Pasal 25 dalam Perpres 51/2016) bahwa pemerintah daerah  wajib menetapkan batas sempadan pantai paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Perpres diundangkan tentulah tidak mengikat karena daerah mempunyai kekuasaan absolut untuk berbagai hal kecuali sektor luar negeri, moneter dan hankam.

Maka, agar tidak banyak korban nyawa yang mati sia-sia karena terjangan tsunami terpulang kepada kebijakan daerah dengan menaati batas sempadan pantai dari ancaman terjangan tsunami atau tetap memanfaatkan pantai untuk mendongkrak PAD (pendapatan asli daerah) dengan 'tumbal' warga? *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun