Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

AIDS pada Mahasiswa di Yogyakarta Jadi Sorotan

8 September 2018   13:17 Diperbarui: 8 September 2018   13:23 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: india.com)

Karena ODHA Mulai Berani Melapor. Ini judul berita di radarjogja.co.id (5/9-2018). Judul ini amat sangat rancu, karena:

Pertama, pemakaian kata 'melapor' sangat tidak layak karena infeksi HIV/AIDS bukan urusan polisional sehingga tidak perlu melapor.

Kedua, penulisan kata "ODHA" tidak pas karena yang dikenal adalah "Odha" bukan huruf kapital karena bukan akronim atau singkatan tapi kata yang mengacu ke Orang dengan HIV/AIDS. Istilah ini diperkenalkan mendiang Prof Dr Anton M Moeliono, pakar bahasa di Pusat Bahasa, Kemendikbud RI (Baca juga: Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Penerbit PT Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000, catatan kaki 2 hlm 17). Odha sebagai padanan dari people living with HIV/AIDS (PLWH) yang diperkenalkan secara internasional.

Ketiga, kalau disebut Odha itu artinya orang-orang yang mengidap HIV/AIDS yang diketahui melalui tes HIV. Pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi melalui tes HIV di tempat-tempat tes yang dirujuk pemerintah, disebut Klinik VCT yaitu tempat tes HIV secara sukarela dengan konseling, sudah pasti akan masuk dalam daftar resmi.

Lalu, Odha mana yang disebut berani melapor? Dalam berita tidak ada penjelasa tentang jumlah Odha yang terdeteksi di Klinik-klinik VCT di DI Yogyakarta dan yang 'berani melapor'. Apakah yang 'berani melapor' itu Odha yang tidak tes di klinik VCT di DI Yogyakarta? Tidak jelas juga.

Data Dinas Kesehatan (Dinkes) DI Yogyakarta menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS sejak tahun 1993 sampai September 2018 mencapai 6.126 yang terdiri atas 4.472 HIV dan 1.654 AIDS (jpnn.com, 5/9-2018).

Disebutkan bahwa kasus HIV/AIDS terbanyak terdeteksi pada mahasiswa, disebut juga usia produktif. Tapi, ini adalah hal yang masuk akal karena usia produktiflah libido tinggi.

[Baca juga: AIDS pada Usia Produktif di Yogyakarta bukan Ironis tapi Realistis]

Disebutkan bahwa data tentang kasus HIV/AIDS pada mahasiswa ditanggapi beragam. Salah satu di antaranya oleh pengamat sosial Universitas Gadjah Mada (UGM), Pande Made Kutanegara, yang mengatakan hal itu (kasus HIV/AIDS pada mahasiswa) salah satunya dipengaruhi tingginya migrasi HIV di kalangan mahasiswa. "Mahasiswa baru (pengidap HIV, Red) dari luar daerah masuk ke Jogja. Prevalensi di Jogja jadi tinggi," kata Made.

Pernyataan ini merupakan salah satu bentuk penyangkalan. Soalnya, apakah semua mahasisa baru yang kuliah di Yogyakarta menjalani tes HIV ketika mereka pertama kali datang ke Yogyakarta?

Kalau jawabannya TIDAK, maka bisa saja mahasiswa baru itu tertular HIV di Yogyakarta. Lalu, apakah tidak ada mahasiswa asli Yogyakarta yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS?

[Baca juga: Mahasiswa di Urutan Ketiga dalam Jumlah Kasus HIV/AIDS di Provinsi Gorontalo]

Dikatakan oleh Made: "Dengan pendekatan khusus kini tak sedikit pengidap HIV/AIDS berani datang ke lembaga-lembaga pendampingan untuk melapor."

Apakah mahasiswa baru 'berani melapor' bahwa mereka pengidap HIV/AIDS? Berapa persentasenya dibandingkan dengan mahasiswa yang terdeteksi di Yogyakarta?

Ada lagi pernyataan: Dengan melibatkan aparat kepolisian untuk menjelaskan dampak penyalahgunaan narkoba dan seks bebas. Yang berdampak pada penyebaran HIV/AIDS.

Pernyataan di atas adalah mitos (anggapan yang salah) karena penyalahgunaan narkoba tidak otomatis terkait langsung dengan penularan HIV. Risiko penularan HIV/AIDS pada penyalahguna narkoba hanya ada jika narkoba disuntikkan secara bersama-sama dengan memakai jarum suntik bergantian.

Seks bebas adalah istilah yang ngawur karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan seks bebas. Kalau seks bebas diartikan melacur dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran, maka inilah yang menyuburkan mitos. Risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubunga seksual, dalam hal ini disebut seks bebas, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Ini fakta (medis).

Ada lagi pernyataan yang disebutkan oleh Pimpinan Victory Plus Yogyakarta, Samuel Rahmat Subekti: Kedua, ODHA harus memiliki pengetahuan dan dibekali informasi yang benar.

Tes HIV di Klinik-klink VCT jelas dan tegas diawali dengan konseling yaitu pemberian informasi yang akurat tentang HIV/AIDS, tes HIV, pengobatan, dll. yang merupakan asas sebagai standar prosedur operasi yang baku. Kalau ada Odha yang tidak memahami HIV/AIDS secara benar itu artinya tes HIV tidak dijalankan secara taat asas.

Begitu juga dengan hal ini: Keempat, ODHA diharapkan tidak menularkan virus tersebut. ODHA harus tahu cara mencegah agar tak menularkan virusnya kepada orang lain. Ketika seseorang mengikuti konseling di Klnik VCT dan memutuskan untuk menjalani tes HIV, maka mereka harus berikrar bahwa mereka akan menghentikan penularan HIV/AIDS mulai dari dirinya.

Pernyataan Samuel itu jadi tanda tanya besar: Apakah tes HIV di Klinik VCT tidak dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku?

Kalau saja wartawan yang menulis berita ini memahami tes HIV dengan benar, maka yang diulas adalah dua hal di atas yang disampaikan Samuel.

Samuel juga menyarankan setiap pasangan yang akan menikah melakukan tes HIV/AIDS. Hal ini sebagai salah satu bentuk pencegahan penularan HIV/AIDS.

Tes HIV sebelum menikah tidak jaminan pasangan tsb. akan bebas HIV selamanya karena bisa saja setelah menikah ada di antara pasangan itu yang melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Tes HIV sebelum menikah juga bisa jadi bumerang kalau kelak istri terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Suami akan membusungkan dada dengan menunjukkan surat 'bebas AIDS' yang diperoleh ketika tes HIV sebelum menikah. Itu artinya suami menuduh istri yang selingkuh.

[Baca juga: Tes HIV sebelum Menikah (yang) Akan Sia-sia dan Tes HIV sebelum Menikah Bisa Jadi Bumerang]

Di bagian lain Made mengatakan: Pendekatan lewat agama juga perlu. Namun, harus lebih dititikberatkan pada upaya preventif.

Tidak semua faktor risiko penularan HIV/AIDS terkait langsung dengan agama. Dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan negara pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

[Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS]

Sedangkan Rektor Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, Sari Bahagiarti, mengatakan, guna menangkal penularan HIV/AIDS setiap mahasiswa diwajibkan aktif dalam unit-unit kegiatan kemahasiswaan (UKM), baik berbasis keilmuan maupun minat bakat."Agar jauh dari ancaman narkoba dan pergaulan bebas mereka harus disibukkan dengan kegiatan positif."

Tidak jelas apa yang dimaksud dengan pergaulan bebas karena kalau yang dimaksud dengan pergaulan bebas adalah hubungan seksual di luar nikah, maka itu tidak terkait dengan penularan HIV/AIDS. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual. Lagi pula tidak ada cara penyaluran dorongan seksual selain melalui hubungan seksual atau 'seks swalayan' yiatu onani dan masturbasi. Maka, yang perlu diberikan kepada mahasiswa adalah cara-cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Agaknya, wartawan yang menulis berita ini terobsesi dengan kata 'mahasiswa' terkait dengan HIV/AIDS sehingga ada kesan sensasional jika diangkat jadi berita. Ini jelas keliru karena yang jadi persoalan besar dalam epidemi HIV/AIDS bukan mahasiswa, tapi laki-laki dewasa beristri.

Ketika seorang mahasiswa tertular HIV/AIDS virus sudah berhenti pada dirinya. Sedangkan seorang suami yang tertular HIV akan menularkan virus tsb. ke istrinya. Bahkan, ada yang beristri lebih dari satu. Jika istri tertular HIV, maka ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandungnya kelak.

Kalau hanya berkutat di seputar mitos, maka penanggulangan HIV/AIDS di Yogyakarta hanya sebatas orasi moral yang tidak menyentuh akar persoalan. Masalah besar adalah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.

Jika tidak dilakukan intervensi berupa memaksa laki-laki pakai kondom setiap kali seks dengan PSK, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang selanjutnya laki-laki yang tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondo di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terjadi secara diam-diam karena warga yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Itu artinya penyebaran HIV di Yogyakarta bak 'bom waktu' yang kelak sebagai pemicu 'ledakan AIDS'. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun