Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Penyalahgunaan Narkoba: Antara Faktor Psikologis dan Psikiatris

5 Agustus 2017   05:10 Diperbarui: 5 Agustus 2017   06:39 4914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: nyfoodandhealthschool.com)

Belakangan ini pemberitaan di media massa dan media online diramaikan dengan berita seputar penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dan psikotropika. Talk show di televisi pun ramai. Namun, pambahasan hanya berkutat di bidang medis dan psikiatri. Padahal, latar belakang yang menjadi faktor pemicu penyalahgunaan narkoba juga terkait dengan gangguan psikologis.

Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika pun kian meningkat. Catatan Badan Narkotika Nasional (BNN) seperti disebutkan Kepala BNN, Komjen Pol Budi Waseso, di Indonesia sampai November 2015 mencapai5,9 juta penyalahguna narkoba dan psikotropika (kompas.com, 11/1-2016). Dampak penyalahgunaan narkoba dan psikotropika pun tidak tanggung-tanggung, seperti disebutkan oleh BNN 40-50 orang mati sia-sia karena narkoba dan psikotropika (antaranews.com, 4/3-2016).

Beragam alasan penyalahguna narkotika dan psikotropika, mulai dari sulit tidur, depresi, dll. Gangguan yang mereka hadapi pada mulanya ada di ranah psikologis. Celakanya, semua bermuara pada psikiater sehingga penanganannya atau pengobatannya tentu saja dengan obat yang juga bisa berupa narkotika dan psikotropika.

Semula disebut drugs abuse (penyalahgunaan obat-obatan), tapi WHO kemudian mengganti istilah jadi substance abuse (penyalahguna zat) karena yang disalahgunakan bukan obat tapi zat (adiktif) yang ada dalam obat-obatan. Maka, tidak ada istilah obat terlarang, obat ilegal, obat haram, serbuk haram, dll. Semua obat yang masuk daftar-G, narkotika dan psikotropika harus dengan resep dokter. Resep diberikan dokter setelah melalui diagnosis medis.

Gangguan yang dihadapi bisa saja pada lingkup emosi, sulit tidur (insomnia), kesulitan beradaptasi, sulit bergaul, tidak bisa konsentrasi, ketakutan yang berlebihan, dll. Gangguan-gangguan ini bisa datang dari luar dan dalam diri.

Kriminolog UI, Purnianti Simangunsong, dalam satu kesempatan di tahun 1990-an mengatakan bahwa di sekolah guru kelas dan guru yang mengajar hanya memperhatikan murid yang paling pintar dan paling bodoh sehingga anak-anak yang berada pada peringkat rata-rata luput dari perhatian. Mereka ototmatis tidak diperhatikan sekolah dan guru sehingga mereka mencari cara lain agar diperhatikan.

Pengalaman dr Erwin Widjono, Sp.KJ, direktur pertama RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat), juga menunjukkan murid atau siswa yang tidak dapat perhatian guru cenderung mencari cara agar diperhatikan di lingkungan, rumah dan sekolah. Mulai dari ribut, tawuran sampai penyalahgunaan narkoba.

RSKO  digagas oleh Bang Ali (Ali Sadikin) Gubernur DCI Djakarta waktu itu bersama dr. Herman Susilo (mantan Ka. Dinkes DKI Jakarta), Prof dr Kusumanto Setyonegoro (mantan Ka. Ditkeswa Depkes) dan bagian psikiatri Universitas Indonesia yang resmi beroperasi pada tahun 1972.

Untuk itulah orang tua dan sekolah diharapkan memperhatikan anak-anak melalui kegiatan keluarga dan sekolah sehingga bisa ditemukan gangguan emosi. Langkah awal adalah ditangani oleh psikolog, jika di sekolah oleh guru bimbingan dan penyuluhan/BP. Bisa jadi masalah atau gangguan yang dihadapi anak-anak ada pada lingkup psikologis.

Begitu juga dengan orang dewasa, seperti manajer dan selebritis, jika ada gangguan dalam keseharian yang terkait dengan (kondisi) psikologi sebaiknya konsultasi ke psikolog. Memang, seperti pernah dikatakan oleh psikolog alm. Sartono Mukadis, banyak orang yang enggan ke psikolog karena tidak mendapat obat. Tentu saja tidak ada obat (medis) karena obatnya (mengatasi masalah) ada pada diri sendiri.

Misalnya, ketika emosi seseorang terganggu karena putus pacar malah berobat ke psikater. Ketika masih meminum obat persoalan 'hilang', tapi obat habis masalah muncul lagi sehingga pengobatan jalan terus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun