Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

“Laskar Gerhana”, Menolak Pembodohan ala Rezim Orba Larang Melihat Gerhana Matahari Total

14 Februari 2016   16:35 Diperbarui: 17 Februari 2016   18:17 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Gerhana Matahari Total"


D
engan ‘membungkam’ ahli-ahli astronomi dan mengabaikan kehadiran Observatorium Bosscha, Lembang, Bandung, Jabar, rezim Orde Baru (Orba) berhasil membodohi masyarakat Indonesia melalui mulut para ilmuwan ketika Gerhana Matahari Total (GMT) melewati Indonesia tanggal 11 Juni 1983.

Menteri Penerangan Harmoko ketika itu menyebarluaskan imbauan Presiden Soeharto yang melarang masyarakat melihat Gerhana Matahari Total secara langsung karena bisa menjadikan mata buta. Harmoko meminta agar masyarakat tidak keluar rumah dan melihat gerhana melalui siaran langsung "TVRI" saja (news.detik.com, 3/2-2016).

Kala itu ‘otak’ bangsa ini pun dibuat kelam sekelam suasana siang hari yang gelap karena dilintasi Matahari yang terhalang Bulan. Inilah ‘dosa’ pemerintah rezim Orba yang membawa masyarakat ke alam kegelapan bak menjelang senja dengan memaksa warga berdiam di dalam rumah. Perempuan hamil ngumpet di kolong tempat tidur atau lemari pakaian. Dinding rumah yang berlobang harus ditambal.

‘Kota Mati’

Memang waktu itu ada sedikit ‘perlawanan’ yaitu dari Direktur Observatorium Bosscha Lembang, Prof Bambang Hidayat. Kepada wartawan Prof Bambang tidak setuju terhadap cara pemerintah yang melarang penduduk keluar rumah menyaksikan gerhana Matahari. Kalau pun ada dampak buruk, Prof Bambang meyakinkan pemerintah bahwa masyarakat bisa diberikan pengetahuan tentang cara-cara melihat gerhana dengan aman (news.detik.com, 3/2-2016).

Tapi, begitulah. Ilmuwan lain tidak berani buka mulut sehingga instruksi presiden itu pun bak titah raja. Itulah yang terjadi di Indonesia ketika Indonesia sebagai negara yang dilewati gerhana Matahari total 11 Juni 1983. Ketika itu pemerintah justru menakut-nakuti masyarakat akan bahaya gerhana matahari karena ada pancaran radiasi sehingga bisa membuat mata buta. Padahal, seperti dikatakan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djalaluddin, pancaran sinar Matahari ada atau tidak ada gerhana hampir sama (Harian “KOMPAS”, 31/1-2016).

Di belahan dunia lain kalangan pakar, ahli, pengamat dan peminat fenomena alam, pelancong serta wisatawan dari seluruh penjuru dunia justru datang berbondong-bondong ke Indonesia. Para ahli memanfaatkan momen langka itu sebagai kuliah lapangan dengan hasil yang kelak dibahas di ruang kuliah, forum ilmiah, dan ditulis dalam bentuk buku. Pelancong pun bisa menjadikan gerhana sebagai materi untuk menulis reportase atau buku yang berisi pengalaman menikmati fenomena alam.

Sedangkan di Indonesia aparat keamanan keliling kampung melarang penduduk ke luar rumah. Kalau dilihat mata bisa buta. Perempuan hamil dilarang keluar rumah, dan mitos-mitos lain. Akibatnya, banyak daerah di Indonesia seperti ‘kota mati’ karena penduduk takut ke luar rumah. Perempuan hamil pun ada yang bersembunyi di dalam lemari pakaian atau di bawah kolong tempat tidur.

Sementara itu berbagai kalangan menikmati fenomena alam tsb. dengan senang hati. Pengamat dan ilmuwan pun memanfaat waktu untuk meneliti dan memperlajari fenomena alam yang sangat langka tsb. Salah satu tempat yang strategis untuk melihat dan mengamati proses gerhana ketika itu adalah di Desa Tanjung Kodok, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Daerah-daerah yang dilewati gerhana Matahari total ketika itu adalah: Yogyakarta, Semarang, Solo, Kudus, Madiun, Kediri, Surabaya, Makassar, Kendari, dan Papua. Peristiwa alam saat itu berlangsung pukul 11.00 WIB selama enam menit.

Indonesia kembali akan menjadi pusat perhatian dunia karena banyak daerah di Nusantara yang akan dilalui gerhana Matahari total. “Gerhana 9 Maret 2016 adalah GMT pertama yang melewati Indonesia pada abad ke-21. Gerhana ini akan melintasi 12 provinsi dan 53 kabupaten/kota, mulai dari Kepulauan Pagai di Sumatera Barat hingga Pulau Halmahera di Maluku Utara.” (Harian “KOMPAS”, 3/2-2016).

Liburan Spesial

Tanggal 9 Maret 2016, totalit lintas gerhana membentang dari Samudra India sampai ke utara Kepulauan Hawaii, di Amerika Serikat. Lebar jalur gerhana mencapai 155-160 kilometer dan terbentang sejauh 1.200-1.300 kilometer.

‘Memburu’ GMT ini menjadi penting karena tidak akan terjadi lagi dalam waktu yang singkat. GMT kali pun lebih istimewa karena bertepatan dengan Hari Raya Nyepi yang dijalankan umat Hindu tanggal 9 Maret 2016.

Bagi pelancong yang akan berlibur perlu mengatur ulang jadwal agar berlibur bisa sambil menyaksikan fenomena alam yang sangat spesial karena hanya bisa dilakukan di waktu tertentu,  seperti gerhana ini. Detiktravel, misalnya, menyebutkan ada empat alasan untuk tidak melewatkan wisata gerhana, yaitu (1) Peristiwa langka, (2) Melihat fenomena alam yang tidak biasa, khususnya Matahari, (3) Bersua dengan ilmuwan dari berbagai negara, dan (4) Berkunjung ke tempat-tempat yang dilalui gerhana yang tidak masuk tujuan utama pariwisata (travel.detik.com, 9/2-2016).

Selain media massa gerhana kali ini mendapat porsi pemberitaan yang luas berkat kehadiran media sosial, seperti blog, yang memberikan beragam informasi tentang GMT. Melalui berbagai macam bentuk tulisan para blogger, seperti "Laskar Gerhana detikcom", menyuarakan informasi tentang GMT sebagai bagian dari upaya menolak pembodohan seperti yang dilakukan rezim Orba.

Kalangan ahli memperkirakan lama GMT di wilayah Indonesia yang dilalui bentang gerhana antara 1,5 menit - 3 menit. Rentang waktu gerhana terpendek terjadi di Seai, Pulau Pagai Selatan, Sumatera Barat, yaitu hanya selama 1 menit 54 detik,  dan terlama terjadi di Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara, yaitu 3 menit 17 detik.

GMT terjadi di wilayah Indonesia barat mulai pukul 06.20 WIB, di Indonesia tengah mulai pukul 07.25 Wita dan di Indonesia timur bermula pukul 08.35 WIT. Beda waktu GMT di tiga wilayah waktu ini rata-rata terjadi dengan selang waktu satu jam.

Harapan kita adalah pemerintah tidak lagi menakut-nakuti masyarakat dengan mitos basi yang justru jadi pembodohan massal karena risiko melihat Matahari di waktu gerhana bisa diatasi dengan teknologi melalui cara-cara yang realistis dan aman.

Maka, yang perlu dilakukan pemerintah adalah menyebarluaskan informasi yang akurat tentang gerhana Matahari dan cara-cara melindungi diri agar tidak menimbulkan efek buruk, seperti kebutaan. Pemerintah bisa melakukannya dengan berbagai cara, misalnya, memanfaatkan media massa dan media sosial memasyarakatkan informasi yang akurat tentang gerhana dan cara-cara melihat gerhana dengan aman dan nyaman.

Kita tunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dalam hitungan hari ke depan sebelum tanggal 9 Maret. Semoga warga di garis lintas Gerhana Matahari Total tanggal 9 Maret 2016 bisa menikmati fenomena alam yang menunjukkan kebesaran Tuhan itu tanpa ragu-ragu dan takut. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun