Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Disebut Kritis dan Ekpresif Tapi Hanya Bisa Menyerang Pribadi dengan Fitnah dan Caci-maki

6 Januari 2016   20:49 Diperbarui: 16 Juni 2023   05:18 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasal 6. Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.

Pasal 7. Wartawan Indonesia dalam memberitakan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.

Maka, jika ada tulisan, gamar, dll, yang tidak memenuhi melawan pasal-pasal di atas jelas bukan ‘kritik’, tapi caci-maki, umpatan, dll. yang justru menyerang pribadi.

Lalu ada pula yang mengatakan UU ITE akan membelenggu kebebasan berekspresi. Dalam KBBI ekspresi disebut sebagai  pengungkapan atau proses menyatakan (yaitu memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dsb)

Apakah status yang ditulis oleh Florence Sihombing, mahasiswa S2 UGM Yogyakarta, yang mencaci-maki warga Yogyakarta dan Sultan merupakan kebebasan berekspresi, daya kritis atau kebebasan berbicara?

Data dan Fakta

Perempuan itu bermasalah dengan karyawan SPBU, lho, koq yang dia caci-maki warga dan Sultan Yogyakarta? Florence: Jogja Miskin, Tolol, dan Tak Berbudaya. Bahkan, di status lain dia mengatakan warga Yogya sebagai, maaf, bangsat. Saya pernah menjadi warga Yogyakarta dengan memilik KTP sehingga saya pun keberatan terhadap ‘kritik’ perempuan ini.

Yang jadi persoalan adalah banyak yang tidak bisa membedakan kritik terhadap konten dan pribadi. Pengalaman penulis menghadapi kritik yang menyerang pribadi adalah karena mereka tidak bisa melihat ada celah untuk dikritik dalam konten tulisan karena tulisan berdasarkan data dan fakta empiris.

Dalam berita di KOMPAS tadi disebutkan: “Damar khawatir orang-orang yang kritis bisa dijerat pasal itu untuk memberikan efek penggentaran kepada netizen lain yang kritis karena sikap kritis dianggap sama dengan penghinaan terhadap seseorang.”

Mengkritisi berbeda dengan penghinaan. Jika seorang pejabat publik, pemuka agama, tokoh masyarakat, pakar, dll. dikritik bukan penghinaan selama yang dikritik kebijakan atau pendapat mereka. Tentu saja beda halnya kalau kritik yang dilancarkan hanya menyasar pribadi yang dikritik. 

Selama berpegang teguh pada koridor hukum terkait dengan berbicara, tulisan (berita, reportase, esai, opini, puisi, cerpen, dll.), gambar, karikatur, dll. tidak akan pernah bisa dijerat hukum. Dengan catatan objek yang disampakan data atau fakta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun