Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bukan “Darurat Prostitusi Online”, tapi “Darurat Laki-laki Pembeli Seks” yang Kelak Bermuara pada “Ledakan AIDS”

26 April 2015   10:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:40 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14300197371137491623

Belakangan ini kasus HIV/AIDS mulai banyak terdeksi pada kalangan menengah ke atas, seperti pegawai, karyawan, aparat dan pengusaha.

Mengapa?

Salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV/AIDS di kalangan menengah ke atas adalah hubungan seksual yang mereka lakukan dengan pekerja seks komersial (PSK) tidak langsung yaitu cewek online, cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek pemijat plus-plus, ABG, ayam kampus, anak sekolah, dll.

Koq bisa?

Ya, bisalah karena PSK tidak langsung tidak bisa diintervensi oleh pemerintah dan LSM untuk mendorong mereka memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan laki-laki ‘hidung belang’, sebagian berdasi ada juga dari kalangan borjuis.

‘Hidung Belang’

Jika PSK tidak langsung memaksa laki-laki pakai kondom, laki-laki itu pun akan mengadu ke ‘mami’ atau ‘papi’ yaitu germo atau mucikari yang menjadi ‘induk semang’ PSK tidak langsung, maka germo akan memaksa PSK tidak langsung melayani laki-laki tanpa memakai kondom. Tentu saja posisi tawar PSK tidak langsung akan kelah dengan ‘mami’ atau ‘papi’ sehingga mereka tidak bisa menolak laki-laki yang tidak memakai kondom ketika berhubungan seksual.

Kondisi itulah yang menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari laki-laki ‘hidung belang’ ke PSK tidak langsung dan dari PSK tidak langsung ke laki-laki ‘hidung belang’. Celakanya ada di antara laki-laki ‘hidung belang’ yang beristri, bahkan ada yang lebih dari satu, selingkuhan, dll. Maka, laki-laki ‘hidung belang’ menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Celakanya, dikesankan oleh banyak kalangan kesalahan ada pada perempuan (baca: PSK, dalam hal ini PSK tidak langsung). Bahkan, dalam beberapa kasus ketika istri yang sedang hamil terdeeksi mengidap HIV/AIDS suami justru menuduh istrinya yang selingkuh.

Kondisi di atas kian runyam karena pemerintah pun tidak menjalankan konseling pasangan. Yang rerjadi adalah jika seorang perempuan, dalam hal ini istri atau ibu rumah tangga, yang hamil dianjurkan tes HIV. Sayangnya, suami tidak ikut tes HIV bahkan mereka menolak dan pada beberapa kasus suami malah meninggalkan istri dan bayinya ketika diberitahu istrinya mengidap HIV/AIDS.

Kalau saja pemerintah, dalam ini Kemenkes, menjalankan konseling pasangan, maka jika ada seorang istri yang hamil berobat atau kontrol ke sarana kesehatan pemerintah, seperti puskesmas atau rumah sakit, ibu rumah tangga itu diminta membawa suaminya untuk menjalani konseling. Jika hasil konseling menunjukkan perilaku seks suami berisiko tertular HIV/AIDS maka suami istri tsb. dianjurkan tes HIV.

Tapi, hal itu tidak dijalankan sehingga suami ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Salah satu PSK tidak langsung adalah cewek-cewek yang ditawarkan melaui media sosial, seperti Facebook, Twitter, ponsel, e-mail, dll. Mereka inilah yang menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS yaitu dari masyarakat (laki-laki ‘hidung belang’) ke mereka dan dari mereka ke masyarakat melalui laki-laki ‘hidung belang’.

Darurat Prostitusi Online: dari Dedeuh Tata, Papi Mike, Apartemen Kalibata” Ini judul berita di detiknews (26/4-2015).

Tentu saja yang darurat bukan pelacuran atau prostitusi karena selalu didengung-dengungkan bahwa pelacuran adalah pekerjaan manusia tertua di dunia sehingga persoalan pelacuran ini bukan hanya sekarang. Yang adalah perilaku laki-laki dewasa, bahkan yang beristri ada juga yang beristri lebih dari satu, yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain, dalam hal ini PSK tidak langsung. Laki-laki ‘hidung belang’ akan mengejar cewek ke mana saja dan dengan berbagai cara biar pun harus membayar ratusan ribu sampai jutaan rupiah.

Dengan kondisi di atas pun tetap saja banyak kalangan yang selalu menyelahkan perempuan, al. dengan penyebut PSK sebagai ‘penjaja seks’. Ini menggiring masyarakat untuk menyalahkan PSK. Padahal, yang mencari dan mendatangi PSK adalah laki-laki. PSK diam di tempat. Kalau ada panggilan baru mereka jalan ke tempat yang disepakati.

Bahkan, dalam buku tentang HIV/AIDS “Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2007-2010” (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2007), misalnya, ditemukan penggunaan kata yang menggantikan kata pelacur, pekerja seks, dan pekerja seks komersial dengan memakai kata penjaja (Pemakaian Kata dalam Materi KIE AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia).

Lokalisasi jadi Bumper

Pelacuran online terjadi di sembarang tempat. Ketika lokalisasi “Dolly” ditutup terbongkar prostitusi online di hotel mewah dan apartemen mewah di Surabaya. Ini hanya puncak dari fenomena gunung es pada pelacuran karena yang terbongkar itu hanya sebagian kecil dari praktek pelacuran.

Ada lagi judul lain di detiknews (26/4-2015): “Prostitusi Online Menjamur karena ada ''Demand'' dan Sikap Permisif”. Permintaan benar, tapi soal permisif itu tidak pas karena pelacuran online tidak kasata mata. Nah, kondisi itu membuktikan bahwa pelacuran, dalam hal ini online, muncul karena ada permintaan dari laki-laki ‘hidung belang’.

Selain pelacuran online praktek pelacuran dalam bentuk perzinaan juga jamak terjadi. “Wah, Oom, kamar jangan di-booking-lah,” kata seorang karyawan losmen di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur. Rupanya, kalau kamar di-booking itu artinya 24 jam. Padahal, dalam 24 jam di hari Jumat-Minggu kamar itu sudah bisa ‘laku’ tiga sampai lima kali. Itu artinya losmen rugi kalau kamar dibayar dengan tarif kalau di-booking.

Yang nginap di losmen itu rata-rata berusia di bawah 30 tahun. Bahkan, ada ceweknya yang memakai pakaian dengan penutup kepala. Kalau mereka sudah suami-istri tentu tidak ada halangan sanggama di kamar kos. Lagi pula mengapa harus di akhir pekan?

Kembali ke kasus HIV/AIDS yang belakangan terdeteksi di kalangan pegawai, karyawan, aparat dan pengusaha terjadi karena program pencegahan penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan memakai kondom tidak berjalan di pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung.

Berbeda dengan PSK langsung yang mangkal di lokalisasi atau lokasi pelacuran PSK mempunyai posisi tawar yang kuat menolak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak mau pakai kondom karena ada yang melindungi mereka yaitu germo atau mucikari. Ini bisa berjalan karena ada intervensi berupa advokasi yang dijalankan oleh banyak kalangan, terutama LSM yang aktif di bidang HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi.

Dalam bahasa Prof. dr. Dewa NyomanWirawan, MPH, yang banyak bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS di Bali, lokalisasi menjadi ‘bumper’ untuk membentengi penyebaran penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, seperti IMS (sifilis, GO, virus hepatitis B, dll.) serta HIV/AIDS dari masyarakat, dalam hal ini laki-laki ‘hidung belang’ ke PSK dan dari PSK ke laki-laki ‘hidung belang’.

Itulah sebabnya Prof Wirawan mendirikan klinik Yayasan Kerti Praja di Denpasar, Bali, untuk mencegah penyebaran IMS dan HIV/AIDS. Setiap hari Jumat klinik ini memeriksa PSK terkait dengan IMS dan membekali PSK dengan pengtahuan tentang cara-cara penularan dan pencegahan IMS dan HIV/AIDS. PSK juga dibekali dengan kondom. “Pada awalnya kita berikan gratis, tapi itu tidak mendidik, “ kata Prof Wirawan dalam sebuah wawancara dengan penulis.

Ternyata PSK itu membeli kondom ketika tidak lagi diberikan gratis. Itu artinya mereka sudah mempunyai kesadaran untuk melindungi diri sendiri dan tidak menjadi jembatan penyebaran IMS dan HIV/AIDS. “Ya, pada awalnya banyak juga yang sinis,” ujar Prof Wirawan mengenang penolakan dari berbagai kalangan ketika dia memulai program tsb. Bahkan, ada seorang wartawan koran nasional yang menuding Prog Wirawan sebagai ‘pelindung pelacur’.

Selama kita berdebat soal (lokalisasi) pelacuran dan kondom, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS terjadi yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS”. Jika ini terjadi, maka Indonesia akan menjadi ‘Afrika Kedua’ sebagai kawasan terdampak epidemi HIV/AIDS. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Ilustrasi (Repro:megapolitan.harianterbit.com)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun