* Alihkan Dana APBD untuk Klub Sepak Bola ’Plat Merah’ Menjadi Dana Pananggulangan HIV/AIDS
Pemilihan pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) terus berkecamuk. Dari empat bakal calon ketua umum (ketum) PSSI hanya dua yang lolos, yaitu Ketum PSSI sekarang Nurdin Halid dan Wakil Ketua Nirwan D. Bakrie. Sedangkan Arifin Panigoro yang memotori kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI) tanpa menggunakan dana APBD dan pemina klub sepak bola PSAD, George Toisutta, justru tersingkir. Untuk itulah Ketum PSSI yang kelak terpilih harus bisa menghentikan dana APBD untuk klub sepak bola.
“Enam Bersaudara Meninggal Akibat Makan Tiwul.” Ini judul berita ANTARA (4/1-2011). Enam orang bersaudara dari Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, meninggal dunia diduga karena keracunan makanan tiwul yang terbuat dari bahan ketela pohon. Keluarga ini mulai makan tiwul sebagai makanan alternatif sejak dua pekan terakhir karena penghasilannya sebagai penjahit di Semarang tidak mencukupi kebutuhan keluarga.
Bandingkan dengan berita tentangPersatuan Sepak Bola Indonesia Jepara (Persijap) yang justru menerima uang dari APBD. “APBD Tetap Dana Favorit” (persijap-total.blogspot.com, 26/8-2009) yang menyebutkan: Musim ini, Persijap mungkin mendapat dana Rp 5 miliar dari APBD. Angka tersebut turun 50 persen karena sebelumnya mereka menerima hibah Rp 10 miliar.
Ada pula berita “Persijap Butuh Dana Segar Rp12 M.” (bola.okezone.com, 28/7-2010). Disebutkan: Minimnya dukungan dana masih menjadi permasalahan klasik di tubuh Persijap. Begitu juga saat mempersiapkan diri menjelang perhelatan Indonesia Super League (ISL) musim 2010/2011 seperti sekarang ini. Persijap sedikitnya membutuhkan dana sekitar Rp12 miliar untuk mampu eksis hingga kompetisi berakhir.
Padahal, epidemi HIV di Indonesia merupakan yang tercepat di Asia setelah Cina dan India. Laporan terakhir (resmi) yang dikeluarkan Kemenkes RI menunjukkan 24.131. Angka ini tidak menggambarkan kenyataan di masyarakat karena banyak daerah yang tidak melaporkan kasus HIV/AIDS di daerahnya.
Penanggulangan HIV/AIDS secara nasional membutuhkan dana lebih dari 50 juta dolar AS (Rp 460 miliar) setiap tahun. Untunglah ada donor asing yang memberikan ‘sedekah’ untuk penanggulangan AIDS sehingga Indonesia tidak pusing tujuh keliling. Celakanya, pada saat yang sama uang (hak) rakyat yang ada di APBD beberapa daerah digerogoti oleh klub-klub sepak bola yang bernaung di bawah PSSI. Dana APBD yang disikat klub sepak bola berkisar antara 5 – 20 miliar rupiah setiap tahun (Lihat Grafik 1).
Grafik 1. Klub LSI, Dana APBD dan Kasus HIV/AIDS
Di kabupaten dan kota yang mempunyai klub sepak bola tsb. kasus HIV/AIDS tidak sedikit. Kasus yang dilaporkan pun tidak mewakili kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV dan AIDS di masyarakat. Akibatnya, banyak kasus yang tidak terdeteksi. Sedangkan kasus yang terdeteksi kebanyakan diperoleh dari pasien yang berobat ke puskesmas atau rumah sakitketika mereka berobat.
Dinas Kesehatan Bojonegoro, misalnya, pada tahun 2009 hanya menyediakan dana penanggulangan Rp 13 juta (TEMPO Interaktif, 17/2-2010). Bandingkan dengan dana yang pernah diterima Klub Persibo yang mencapai Rp 6 miliar. Dana untuk AIDS hanya 0,22 persen dari dana untuk klub sepak bola.
Untuk biaya pengobatan seorang Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dibutuhkan jutaan rupiah per bulan. Di Prov Sumatera Utara dikabarkan: Selama menjalani terapi ART seorang pengidap HIV/AIDS menghabiskan Rp 3,6 juta per bulan (Harian “Waspada”, 5/11-2009). ART adalah pengobatan Odha dengan obat antiretroviral yaitu obat yang bisa menekan laju perkembangan HIV di dalam darah sehingga Odha bisa tetap produktif.
Jika kelak tidak ada lagi ‘sedekah’ dari donor asing maka pemerintah akan kelimpungan membiayai pengobatan Odha. Di beberapa negara obat ARV diberikan gratis karena menyangkut hak warga negera untuk memperoleh pengobatan. Sedangkan dari aspek epidemiologi pemberian obat ARV dapat menurunkan risiko penularan HIV pada Odha karena jumlah virus yang ada di cairan darah, air mani, cairan vagina dan air susu itu (ASI) tidak cukup untuk ditularkan. Dengan biaya Rp 3,6 juta/Odha/tahun maka kebutuhan dana untuk penanganan Odha tergantung jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di satu daerah yang mempunyai klub sepak bola. Jumlah itu belum termasuk obat-obatan untuk infeksi oportunistik, perawatan rumah sakit, serta biaya tidak langsung, seperti program penyuluhan, pendampingan, dll.
Di Tanah Papua (Prov Papua dan Prov Papua Barat) hampir setiap kabupaten dan kota mempunyai klub sepak bola. Tercatat 22 klub sepak bola di Tanah Papua. Kalau satu klub menerima rata-rata Rp 10 miliar, maka setiap tahun Rp 220 miliar uang rakyat dihambur-hamburkan untuk sepak bola. Padahal, kasus AIDS yang terdeteksi di Tanah Papua sudah mencapai 3.665. Angka ini belum termasuk kasus HIV-positif dan kasus yang belum terdeteksi. Tidak jelas apa pertimbangan yang rasional dari pemerintah daerah di sana yang lebih mementingkan dana APBD untuk klub sepak bolah daripada untuk biaya penanggulangan epidemi HIV.
’Kegilaan’ pejabat dan masyarakat di beberapa daerah di Tanah Papua membuat penanggulangan AIDS terabaikan. Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), Nafsiah Mboi,mengatakan banyak kabupaten di Papua terkesan kurang peduli dalam upaya pencegahan HIV/AIDS. Sebagian besar kabupaten di Papua tidak menganggarkan dana untuk mendukung program KPAD dalam menanggulangi masalah HIV dan AIDS. Kalaupun ada, anggaran yang dialokasikan sangat kecil (kapanlagi.com, 11/12-2010).
Data KPAN pada 31 Desember 2009 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan di Papua mencapai 5.500. Prediksi KPAN kasus AIDS di Papua mencapai 21.000. Berarti ada 15.500 kasus yang belum terdeteksi. Kasus yang tidak terdeteksi ini akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Fakta sudah dapat dilihat. Di Manokwari, misalnya, dilaporkan 15 balita terdeteksi HIV-positif. Bayi ini tertular dari ibunya ketika dalam kandungan atau saat persalinan. Ibu mereka tertular HIV dari suaminya (www.papuabaratnews.com, 28/3-2010).
Tanah Papua sedikit beruntung karena ada dana dari donor asing yang dipakai untuk penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, jika donor asing itu hengkang maka tidak ada pilihan lain selain memakai dana APBD. Tapi, apakah pemerintah rela mengucurkan dana untuk AIDS? Soalnya, sepak bola sudah dijadikan sebagai ’alat politik’ terutama dalam pemilu kada. Masyarakat diiming-iming dengan klub sepak bola sebagai materi kampanye.
Biar pun ada Permendagri No 13 Tahun 2006 yang melarang dana APBD untuk klub sepak bola, tapi tetap saja pemerintah daerah mengucurkan dana untuk klub sepak bola. Ada yang menyiasatinya melalui dana untuk olah raga KONI daerah. Beberapa klub sepak bola yang berlaga di bawah panji-paji LSI (Liga Super Indonesia) yang merupakan program PSSI tetap ’menetek’ ke APBD. Di kabupaten dan kota klub-klub LSI itu kasus HIV/AIDS sudah merebak menjadi masalah kesehatan masyarakat sehingga membutuhkan dana yang besar. Tapi, dana untuk penanggulangan AIDS di banyak daerah sangat kecil, porsi dana yang lebih besar justru dikucurkan untuk klub sepak bola.
Lihatlah ’perselingkuhan’ pada pemilukada Bogor ini. “Kami (KIS-Komunitas Insan Sepakbola, red) pernah membuat kesepakatan politik dengan Pak Diani (Diani Budiarto, red) saat beliau kampanye pilwalkot lalu. KIS dan Pak Diani sepakat mengalokasikan anggaran Rp1,5 miliar untuk PSB jika Pak Diani jadi walikota. Dan sekarang kita minta realisasinya,” ujar anggota formatur PSB Musta, Sudirman (Harian “Radar Bogor”, 28/10-2010).
Sekarang ada konsorsium yang menyelenggarakan kompetisi, dikenal sebagai LPI, yang tidak memakai dana APBD. LPI digerakkan oleh Arifin Panigoro. Klub-klub yang tergabung dalam LPI tidak memakai dana APBD sehingga dana bisa dimanfaatkan untuk keperluan masyarakat, terutama untuk dana penanggulangan AIDS (Lihat Grafik 2).
[caption id="attachment_91114" align="aligncenter" width="417" caption="Grafik 2. Klub LPI, Kasus HIV/AIDS"]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI