Abstrak
Transformasi pendidikan menuju format daring telah membawa implikasi signifikan terhadap cara belajar, proses kognitif, serta kesejahteraan psikologis peserta didik. Artikel ini membahas kelebihan dan tantangan pembelajaran daring melalui lensa neurosains dan psikologi pendidikan, dengan mengacu pada temuan empiris dari institusi terkemuka. Penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran daring memberikan fleksibilitas belajar yang mendukung kerja optimal otak, meningkatkan retensi memori, serta mendorong perkembangan kecerdasan digital. Namun, terdapat pula tantangan berupa dampak psikososial, kelelahan visual, dan kesenjangan akses teknologi yang memengaruhi perkembangan kognitif anak secara neurologis. Artikel ini memberikan analisis mendalam atas isu-isu tersebut sebagai dasar pengambilan kebijakan pendidikan digital yang inklusif dan berbasis sains.
BAB 1
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi telah mendorong revolusi dalam dunia pendidikan, terutama dengan meningkatnya adopsi pembelajaran daring (e-learning) sebagai alternatif maupun pelengkap pembelajaran konvensional. Pandemi COVID-19 menjadi akselerator dalam perubahan ini, meskipun tren digitalisasi pendidikan telah berlangsung sebelumnya. Namun demikian, pertanyaan besar muncul: apakah pembelajaran daring benar-benar efektif dalam mendukung proses belajar mengajar? Untuk menjawabnya, perlu dikaji tidak hanya dari aspek teknis, tetapi juga dari sudut pandang neurosains dan psikologi pendidikan yang menyelidiki bagaimana otak manusia merespons format belajar digital ini.
BAB ll
ISI
2.1 Â Kelebihan Pembelajaran Daring
1. Fleksibilitas Belajar dan Efisiensi Otak
  Salah satu keunggulan utama pembelajaran daring adalah fleksibilitas dalam pengaturan waktu dan tempat belajar. Menurut prinsip neurosains, otak manusia bekerja lebih efektif ketika tidak berada dalam kondisi stres tinggi. Lingkungan belajar yang dapat dikendalikan sendiri oleh siswa---misalnya memilih waktu belajar sesuai irama sirkadian masing-masing---dapat menciptakan situasi belajar yang lebih optimal secara neurologis.
Studi oleh Harvard Medical School (2020) menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis teknologi, terutama yang bersifat asinkron, dapat meningkatkan keterlibatan kognitif. Hal ini terjadi karena otak lebih responsif ketika diberikan waktu untuk menyusun informasi, mengevaluasi, dan mengasimilasi materi tanpa tekanan waktu yang kaku seperti dalam kelas tatap muka.
2. Efektivitas Retensi Memori
  Retensi atau kemampuan otak dalam menyimpan informasi jangka panjang merupakan indikator penting dalam proses pembelajaran. Menurut penelitian dari Research Institute of America, pembelajaran daring dapat meningkatkan tingkat retensi informasi hingga 25--60% dibandingkan pembelajaran tradisional. Ini terkait dengan mekanisme neuroplastisitas otak, khususnya peran hippocampus yang terlibat dalam konsolidasi memori jangka panjang.
E-learning memungkinkan siswa mengakses materi berulang kali, mengulang video pembelajaran, atau membaca ulang modul digital sesuai kebutuhan mereka. Proses pengulangan ini memperkuat jalur sinaptik di otak, memperbesar kemungkinan informasi bertahan dalam memori jangka panjang.
3. Pengembangan Kecerdasan Digital
  Howard Gardner, pencetus teori Multiple Intelligences, menyatakan bahwa dalam konteks modern, kecerdasan digital merupakan turunan baru dari logical-mathematical intelligence. Kemampuan untuk menggunakan teknologi digital secara efisien, berpikir sistematis, dan memecahkan masalah kompleks adalah bentuk kompetensi kognitif yang sangat relevan di era Industri 4.0.