“Kalau ompung masuk kampung, itu tanda ada yang keliru.”
Kalimat ini adalah ungkapan yang tertanam dalam benak dan pikiran masyarakat Batak Mandailing di Sumatra Utara jika seekor Harimau masuk ke dalam wilayah permukiman mereka. Dulu, jika Ompung dari Rimba masuk ke dalam kampung, itu menjadi pertanda ada warga yang melanggar aturan adat. Kehadirannya menjadi tanda adanya ketidakberesan.
Ompung adalah sebutan orang batak bagi Harimau Sumatra. Ompung Batak dari Rimba ini telah hidup berdampingan dengan masyarakat suku batak sejak berabad lalu. Ungkapan Kalau ompung masuk kampung, itu tanda ada yang keliru pun terasa masih berkorelasi dengan yang terjadi saat ini. Saat ompung masuk kampung, ia memberikan tanda bahwa sedang terjadi ketidakberesan di tempat tinggalnya.
Seringkali terdengar informasi mengenai Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) memasuki kawasan permukiman warga di berbagai wilayah di pulau Sumatra. Di awal tahun 2025, setidaknya ada tujuh kasus harimau masuk ke permukiman warga di provinsi Aceh, lalu pada akhir Mei 2025, petani karet di Padang Sidempun melihat seekor harimau memasuki kawasan kebun karet tempat ia bekerja. Terbaru pada 6 September 2025, warga Desa Kuta Rayat, Kecamatan Namanteran, mengaku melihat keberadaan hewan mamalia tersebut melintas di jalur penghubung Kabupaten Karo menuju Kabupaten Langkat.
Bukan tanpa sebab, Harimau Sumatra terlihat memasuki kawasan permukiman demi mencari makan. Lalu mengapa hewan terancam punah ini sampai memasuki kawasan perumahan warga? Ini pun mengundang pertanyaan, apa yang terjadi di dalam rimba?
Habitat Harimau Sumatra terus menyusut akibat deforestasi. Berdasarkan data dan analisa Global Forest Watch, dari tahun 2001 sampai 2024, Sumatra Utara kehilangan 84% tutupan pohon antara lain mencakup kawasan Mandailing Natal, Labuhanbatu Selatan, Asahan, Langkat, dan Padang Lawas. Selain itu, hasil penelusuran Forest Watch Indonesia menemukan, deforestasi di Sumatra Utara disebabkan oleh penebangan hutan untuk kegiatan industri kertas dan perkebunan kelapa sawit. Kehilangan tutupan pohon sebanyak 84% merupakan bukti bahwa alam liar mengalami krisis.
Hutan merupakan habitat Harimau Sumatra. Dalam rantai makanan di alam liar Sumatra, Harimau menduduki posisi puncak piramida ekologi. Ia memangsa hewan lain seperti rusa, sapi, babi hutan, unggas, dan ikan. Ketiadaan hutan sebagai habitat Harimau Sumatra, membuat naluri harimau mencari tempat hidup lain yang lebih layak dan dapat mencari mangsa. Harimau bukanlah manusia yang diberi akal lebih. Harimau hanya mengandalkan insting berburu untuk bertahan hidup. Saat mencari rumah yang layak, tak bisa dihindari ketika ia melintasi kawasan permukiman warga. Saat membutuhkan makan, tak bisa dihindari pula jika ternak warga menjadi mangsa. Sebagai catatan, sang Ompung sudah lebih dulu menduduki kawasan ini sebelum manusia tiba.
Tak hanya deforestasi, populasi ompung pun terus terancam oleh perburuan liar. Pada awal Maret 2025, seekor Harimau Sumatra ditemukan terjerat di hutan Desa Tibawan, Riau. Tim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau segera berkoordinasi dengan kepala desa, kepolisian, dan Babinsa untuk menjaga lokasi sebelum tim evakuasi tiba dari Pekanbaru. Perjalanan panjang tim evakuasi dari Pekanbaru dimulai sekitar pukul 23.00 WIB. Setelah menempuh waktu hampir delapan jam, tim tiba di Tibawan Senin pagi, (3 Maret 2025). Mereka langsung menuju lokasi bersama aparat desa, Babinsa, dan Bhabinkamtibmas gunakan kendaraan roda dua. Namun saat mereka tiba, harimau sudah menghilang. Tim lalu memeriksa lokasi dan menemukan bekas jeratan yang terputus, ranting yang putus akibat senjata tajam, bercak dan tetesan darah pada bambu sepanjang lima meter, dan jejak ban mobil di sekitar lokasi. Lalu pada 1 Mei 2025, seekor harimau sumatera didapati terkena jerat satwa di kawasan ekosistem Bukit Tigapuluh, Desa Suo-Suo, Kecamatan Sumay, Tebo, Jambi. Harimau ini sempat diselamatkan oleh Tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi namun pada awal Juni 2025, luka di kaki akibat jeratan tak membaik lalu. Harimau tersebut juga mengalami muntah. Selain itu, terjadi pula pendarahan pada saat defekasi atau buang air besar. Tubuh harimau sempoyongan atau mengalami inkoordinasi serta lebih sering berendam di dalam kolam bak air tempat ia dirawat. Harimau ini pun mati setelah menjalani perawatan intensif.
Ada yang keliru terjadi di rimba Harimau Sumatra. Kehidupan mamalia ini terancam akibat berbagai macam aktivitas manusia. Peristiwa di Jambi dan Riau seharusnya menjadi peringatan keras memperketat pengawasan dalam upaya konservasi harimau sumatra dan menegakkan hukum yang tegas terhadap perburuan liar. Adapun Undang-Undang (UU) RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur tentang larangan terhadap perburuan satwa yang dilindungi serta hukuman bagi para pelaku yang melakukan tindakan melawan hukum. Pasal 40 (2) UU Nomor 5/1990 berbunyi
“Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.