Mohon tunggu...
Ineke Novianty Sinaga
Ineke Novianty Sinaga Mohon Tunggu... Freelancer - Public Relation

I am very passionate about writing! Melihat,membaca, menilai, menganalisa,menyindir, mentertawakan, menyukai, mengagumi, memperbaiki, mendukung.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Gawai dan Gangguan Jiwa

6 September 2019   11:28 Diperbarui: 6 September 2019   12:00 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

 

Orang dewasa atau anak-anak sama saja di zaman sekarang ini. Sukanya dan mahir menggunakan gawai (atau alat elektronik lainnya). Terlihat jelas bahwa generasi Alfa banyak yang terlihat begitu mahir menggunakan gawai baik untuk bermain game, menggunakan berbagai aplikasi, atau berkomunikasi dengan messenger apps seperti WhatsApp dan LINE.

Sebenarnya ini adalah hal yang bagus karena berarti generasi mereka sudah melek teknologi, mumpuni beradaptasi dengan perubahan teknologi, dan siapa tahu anak kita menjadi pakar atau bisa berinovasi dengan teknologi di masa depan. 

Tetapi selain hal yang bagus ada juga hal jeleknya, yaitu jika kita tidak waspada maka kebiasaan menggunakan gawai terutama pada usia anak dapat mempengaruhi kepribadian si anak, seperti anak berpotensi menjadi individualis, apatis, dan muncul gangguan kepribadian lainnya.

Dokter spesialis kejiwaan/psikiatri OMNI Hospital Alam Sutera dr.Andri, Sp. KJ, FAPM menyarankan agar masyarakat mewaspadai fenomena gangguan jiwa  akibat kecanduan gawai.  Penyebab fenomena ini pada anak salah satunya adalah baby sitting atau salah dalam cara mengasuh, yaitu  gawai diperkenalkan  terlalu dini kepada anak yang usianya masih di bawah 2 tahun. Biasanya, orang tua melakukan ini  agar anak tidak rewel. Solusi singkat ini ternyata dapat membuat anak bergantung pada gawai. 

Tanda bahwa anak mulai ketergantungan kepada gawai adalah tidak bisa lepas dari gawai dan menangis atau tantrum jikwa gawainya diambil.  Orang tua perlu mengetahui gejala ini dan harus waspada karena bisa jadai anak sudah mulai kecanduan gawai. Sebelum kecanduan terjadi,  sebisa mungkin  jangan berikan gawai pada anak sebelum usia 2 tahun. Walaupun itu akan kembali pada kebijakan orang tua masing-masing tapi setidaknya jika memberikan gawai, orang tua berperan sebagai  pendamping atau  menemani ketika anak menggunakan gawai bukan memberikan gawai agar anak berhenti menangis atau rewel.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pengunaan gawai asalkan anak sudah memahami batasannya dan orang tua juga bisa memonitor. Misalnya, membuat peraturan menggunakan gawai hanya boleh pada hari Sabtu-Minggu di waktu yang sudah disetujui bersama orang tua atau di hari biasa setelah belajar 2 jam maka anak dapat diizinkan bermain gawai selama 30 menit dengan pengawasan dari orang tua. Orang tua yang cerdas akan memanfaatkan gawai  untuk edukasi anak, misalnya, memperkenalkan huruf, nama hewan, dan sebagainya.

Menurut dr Andri, ketika kita tertarik pada sesuatu yang menyenangkan maka  hormon dopamin yang mempengaruhi perilaku kita akan meningkat. Sistem dopamin yang aktif cenderung membuat anak ingin terus menerus bermain gawai. 

Di bidang kedokteran kecanduan gawai telah dikategorikan sebagai kecanduan jiwa non-zat dan akan dimasukan ke dalam diagnosis gangguan kejiwaan World Health Organization (WHO) di ICD-11. 

Walaupun demikian, kecanduan gawai  sebenarnya masih bisa disembuhkan, yaitu dengan terapi perilaku untuk mengurangi penggunaan gawai hingga anak tersebut benar-benar dapat lepas dari kecenderungan pengunaan gawai.

Mengingat pengobatan atau terapi membutuhkan biaya mahal maka sebelum terlambat awasi bermain gawai, jadwalkan kapan saja bisa bermain gawai, dan ada baiknya anak lebih banyak dilibatkan dalam kegiatan luar ruang dan bersosialisai dengan sekitarnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun