Mohon tunggu...
Ineke Novianty Sinaga
Ineke Novianty Sinaga Mohon Tunggu... Freelancer - Public Relation

I am very passionate about writing! Melihat,membaca, menilai, menganalisa,menyindir, mentertawakan, menyukai, mengagumi, memperbaiki, mendukung.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

The Power of "Jari" di Media Sosial

5 September 2019   09:45 Diperbarui: 5 September 2019   09:47 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Anda punya akun media sosial? Pasti  punya dong:) Tinggal sebut saja akun apa, facebook, instagram, twitter?

Memiliki akun media sosial sudah menjadi hal yang lumrah apalagi bagi kalangan milenial. Menurut survei Center for Strategic and International Studies (CSIS)  tahun 201,  dari 600 responden yang berusia 17-29 tahun di 34 provinsi, 81,7% memiliki akun Facebook, 70,3% Whatsapp dan 54,7% memiliki akun Instagram. Ini artinya, penetrasi media sosial pada milenial sangat kuat.

Sebagai pemilik media sosial tentu ada  keinginan untuk berkomentar pada isu terbaru atau foto yng muncul di timeline. Bisa karena iseng, tertarik pada content, nyinyir karena pro pada pihak lain yang menjadi oposisi dari akun sosmed yang kita lihat atau baca. Biasanya hal seperti ini sering terjadi pada akun selebriti atau politikus. Apapun yang mereka posting bisa membuat opini dan menjadi viral bahkan menjadi berita. Para netizen dari sekadar berkomentar bisa  jadi perang opini atau disebut  fans dan haters. 

Selain berkomentar, ada juga keinginan untuk eksis, mengekspresikan pikiran, atau ingin berbagi  foto yang menarik. Ketika postingan disukai maka Anda akan mendapatkan komentar positif atau mendapat simbol like. Bahkan jika beruntung, postingan dapat membuat Anda mendadak terkenal. Namun, bila apes, postingan dapat menjadi bahan bully-an lalu viral dan merusak nama baik Anda.

Di era teknologi digital saat ini, kita dijejali beragam informasi dari berbagai sumber. Bahkan diri kita pun dapat menjadi sumber informasi di media sosial. Informasi tanpa validitas disebar dan yang membaca juga tidak mencari kebenarannya. Copy lalu paste atau screen capture lalu share atau semudah klik tombol share .Dengan kemudahan tanpa investigasi dan filter lalu informasi bohong segera menyebar. 

Loncatan perubahan komunikasi digital terjadi dengan begitu cepatnya dan   seringkali tidak diimbangi dengan literasi digital. Akibatnya, jari kita lebih cepat menuliskan komentar dibanding berpikir dulu atau menganalisa lebih dalam. Aaaah habis waktu!Aaah malas! Ini da pasti benar! Berbagai alasan dapat dikemukakan untuk membenarkan tindakan. 

Kita pun mudah mengumbar ketidaksukaan hanya dengan mengetik lalu tekan tombol send. Walau kita sudah dengar beberapa kasus HOAX dan ujaran kebencian menyebabkan terjadinya konflik sosial. Masyarakat dan publik figur sebagai pelaku pun meradang hingga berhadapan dengan jerat hukum.

Well, sejumlah kejadian yang terjadi di negara kita akibat salah menggunakan sosial media seharusnya menjadi pelajaran hidup. Jangan karena ingin terkenal atau meraih kekuasaan lalu menyebarkan berita HOAX.  Sebelum share ke pihak lain, pastikan informasi bersumber dari institusi yang berwenang. Teliti melihat alamat URL karena pembuat berita HOAX memakai alamat URL yang mirip dengan lembaga atau media tertentu.  

Jangan mudah percaya dan hanyut pada isu yang sedang ramai.  Jika ingin terkenal dan mendapat simpati publik, sebarkan inspirasi, prestasi, dan kisah positif. Bijak dan santunlah kalau ingin berkomentar.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun