Singkat cerita, kami tidak bertemu teman mahasiswa, dan balik ke rumah Bu Lurah dengan sia-sia. Malam harinya, aku mengigau hebat. Dalam perasaanku, aku mau ditubruk mayat berpocong putih.Â
Dalam kesadaran mimpi, kuingat kalau mimpi buruk, balikkan bantal. Kumerasa sudah melakukan itu, tapi si Pocong mengejarku terus. Aku terbangun dan mendapati Pak Lurah, Bu Lurah, dan Aisyah duduk di tepi tempat tidur. Mereka setengah ketakutan. Aku masih mendengar eranganku sendiri, tapi tidak kuasa menghentikannya.Â
Setelah beberapa saat, aku benar-benar bangun dan sadar kalau tadi bermimpi dan mengigau. Untung Mas Yanto sudahbalik ke desa. Dia yang tidur di Pendopo dibangunkan juga. Jadi Pak Lurah dan isterinya agak tenang.
Pak Lurah dan isterinya menginterogasi Aisyah. Kedua suami isteri itu saling berpandangan. Lalu kata Bu Lurah pelan, "Persis di tempat itu ada makam orang yang bunuh diri tapi tidak ada yang mengenalnya."
Keesokan harinya aku demam dan panas. Dokter datang. Aku sakit sampai seminggu. Menurut Dokter, aku tidak apa-apa.Â
"Hanya psikosomatis," katanya.
Sampai kini, aku masih punya bayangan jelas tentang si Mata Menyala itu. Walau begitu, tak pernah sekalipun terbetik keinginan kami berdua -- ya, Aisyah dan aku untuk membahas peristiwa itu, Pun tidak untuk menyamakan "penglihatan" kami.
Ah, percayakah pembaca? Jangan-jangan ini karangan fiksi semata. Nah! Salam Kompasiana. :: @IndriaSalim ::
*) Di bagian kisah Si Mata Merah sendiri, judul aslinya adalah Si Muka Rata. Cerpen tersebut dalam versi berbeda diterbitkan dalam buku antologi cerpen "Midnight Stories I" (Penerbit Mediakita, 2013 -- Agromedia Group)