Mohon tunggu...
Indriana BektiLestari
Indriana BektiLestari Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta

Sebagai seorang mahasiswa, saya merupakan pribadi yang kreatif, disiplin, dan bertanggung jawab. Saya terbiasa bekerja secara terstruktur namun tetap terbuka terhadap ide-ide baru. Kemampuan komunikasi yang baik juga menjadi kekuatan saya dalam menjalin kerja sama, berdiskusi, dan menyampaikan gagasan secara efektif. Bagi saya, belajar bukan hanya soal teori, tetapi juga tentang membentuk karakter dan memberi kontribusi nyata bagi lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pancasila sebagai Bintang Penuntun di Tengah Krisis Identitas Bangsa

5 Oktober 2025   15:30 Diperbarui: 5 Oktober 2025   15:26 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di tengah derasnya arus globalisasi dan perubahan sosial yang cepat, bangsa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga identitas nasionalnya. Fenomena polarisasi politik, perpecahan sosial, hingga meningkatnya intoleransi menjadi sinyal bahwa kita tengah mengalami krisis nilai dan arah. Dalam kondisi seperti inilah, Pancasila kembali menunjukkan relevansinya sebagai dasar negara dan panduan moral kehidupan berbangsa.

Pancasila bukan sekadar kumpulan lima sila yang dihafal saat upacara bendera. Ia adalah fondasi ideologis yang mempersatukan bangsa dengan segala keberagaman suku, agama, budaya, dan bahasa. Ketika sila pertama berbicara tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, ia tidak memaksakan satu keyakinan, melainkan mengakui keberadaan Tuhan dan menjunjung tinggi toleransi antarumat beragama. Sila kedua hingga kelima menegaskan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun, yang menjadi masalah bukan Pancasila itu sendiri, melainkan bagaimana kita memaknainya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang menjadikan Pancasila sebagai simbol kosong tanpa implementasi nyata. Pendidikan Pancasila hanya diajarkan sebagai formalitas, bukan sebagai nilai hidup yang membentuk karakter.

Contohnya bisa kita lihat dalam berbagai konflik horizontal yang terjadi belakangan ini, baik di media sosial maupun dunia nyata. Ujaran kebencian atas nama agama, penyebaran hoaks yang memecah belah, hingga kekerasan atas nama identitas kelompok, semua itu terjadi karena hilangnya pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai Pancasila. Padahal, bila nilai-nilai tersebut diinternalisasi secara konsisten, maka ruang-ruang intoleransi dan kebencian tidak akan tumbuh subur.

Media sosial juga turut memperburuk krisis identitas ini. Di ruang digital, banyak warga yang justru menanggalkan sikap saling menghargai, dan malah memperuncing perbedaan. Polarisasi makin tajam ketika elite politik memanfaatkan perbedaan untuk kepentingan elektoral. Sayangnya, sebagian masyarakat kita mudah terbawa arus, karena nilai Pancasila belum tertanam kuat sebagai filter dalam bersikap dan berpikir.

Di sinilah peran negara dan seluruh elemen masyarakat menjadi sangat penting. Pendidikan Pancasila harus dihidupkan kembali, bukan sekadar dalam bentuk hafalan, melainkan dalam bentuk praktik nyata: mengajarkan empati, menanamkan semangat gotong royong, serta membiasakan cara berpikir yang adil dan rasional sejak dini. Sekolah dan universitas harus menjadi ruang aman bagi diskusi lintas perbedaan, bukan tempat berkembangnya sikap eksklusif.

Selain itu, tokoh agama, budaya, dan politik harus menjadi teladan dalam mengamalkan Pancasila. Tidak cukup berbicara soal persatuan, bila perilakunya justru memecah belah. Tidak cukup menyerukan keadilan, bila masih membiarkan kesenjangan dan diskriminasi tumbuh subur.

Pancasila adalah warisan para pendiri bangsa, tetapi bukan berarti ia hanya milik masa lalu. Justru hari ini dan ke depan, kita dituntut untuk menjadikannya lebih hidup dan kontekstual. Tantangan zaman boleh berubah, tapi nilai-nilai dasar seperti kemanusiaan, keadilan, dan persatuan tidak akan pernah usang.

Maka, dalam menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian, hanya bangsa yang berakar kuat pada nilai-nilainya yang akan bertahan. Pancasila adalah akar itu. Ia bukan sekadar dasar negara, melainkan arah moral dan identitas bangsa. Kini saatnya kita tidak hanya menghafal Pancasila, tetapi menghayatinya dan menjadikannya kompas dalam setiap langkah kehidupan kita sebagai warga negara Indonesia.

Menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup bukan tugas pemerintah semata. Ini adalah tanggung jawab kolektif kita sebagai bangsa. Dalam skala kecil, kita bisa memulainya dari lingkungan keluarga, sekolah, dan komunitas. Sikap saling menghormati, gotong royong, keterbukaan terhadap perbedaan, serta kepekaan terhadap ketidakadilan sosial adalah bentuk nyata pengamalan Pancasila yang sering kali terlupakan.

Lebih dari itu, Pancasila harus terus diperjuangkan agar tidak hanya menjadi dokumen sejarah atau sekadar simbol dalam lambang negara. Ia harus dibawa ke tengah kehidupan Masyarakat, yaitu dalam kebijakan publik, dalam budaya politik, dalam dunia pendidikan, dan dalam perilaku sosial sehari-hari. Tanpa itu, Pancasila hanya akan menjadi jargon tanpa makna, tertulis tetapi tidak terasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun