Mohon tunggu...
indra yudhika zulmi
indra yudhika zulmi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

WNI

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mafia DAK Pertanian?

5 Juni 2012   14:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:22 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pertanian pertama kali dianggarkan pada tahun 2005. Nilai anggarannya pada saat itu adalah 170 Milyar rupiah dan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Hingga pada tahun 2011, nilai anggarannya telah melonjak berlipat-lipat menjadi 1,806 triliun rupiah. Bisa jadi ini merupakan bukti komitmen pemerintah untuk memperbaiki sektor pertanian.

Kebijakan DAK Pertanian memiliki tiga hal positif. Pertama, DAK Bidang Pertanian yang dikhususkan untuk pembangunan infrastruktur pendukung sektor pertanian dapat diandalkan untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi. Hal ini akan berimplikasi terhadap peningkatan daya saing produk pertanian lokal. Kedua, kegiatan yang didanai DAK yang berbasis pembangunan infrastruktur lahan dan air serta perluasan areal akan memberikan kontribusi terhadap produktivitas pertanian yang bervariasi antara 16 % - 18 %. Ketiga, dua hal di atas akan berimplikasi terhadap kesejahteraan petani. Dengan kata lain, kegiatan DAK Bidang Pertanian menjadi faktor determinasi produksi, produktivitas dan kesejahteraan petani.

Berbagai kasus korupsi anggaran seperti wisma atlet, proyek pembangunan universitas, peralatan kesehatan, dll yang merupakan proyek-proyek dalam berbagai kementeriaan, antara lain Kemenpora, Kemendiknas, serta Kemenkes melibatkan oknum DPR RI atau dikenal sebagai ‘mafia anggaran’. Para mafia anggaran memanfaatkan otoritas dalam penyusunan anggaran untuk memperoleh keuntungan langsung maupun tak langsung. Bagaimana dengan DAK Pertanian dalam Kementan? Adakah jejak mafia disana?

Permasalahan DAK Pertanian

Permasalahan implementasi DAK Pertanian; pertama, terkait efektivitas. DAK Pertanian menjadi tidak efektif dikarenakan dua faktor yaitu otoritas daerah dan permasalahan juknis. Sejak 2005, Pemerintah daerah hanya bertugas untuk melaksanakan kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah pusat dan tidak memiliki otoritas kebijakan (statutory services), sehingga dalam banyak kasus kegiatan DAK pertanian cenderung tidak sesuai dengan permintaan dan kebutuhan petani.

Petunjuk Teknis (Juknis) DAK Pertanian mengalami keterlambatan dibeberapa daerah, terlalu spesifik dan kaku. Juknis yang sedemikian menyebabkan daerah kesulitan mengoptimalkan alokasi anggaran yang diberikan. Tahun 2010, daerah-daerah di Indonesia terpaksa mengembalikan anggaran sebesar 188 Milyar Rupiah ke APBN akibat tidak mampu merealisasikan kegiatan berdasarkan juknis.

Kedua, terkait akuntabilitas.Tahun 2011, dari total 354 kabupaten yang menerima DAK, terdapat enam kabupaten/kota yang melapor tidak ada realisasi dari DAK Bidang Pertanian dan 41 Kabupaten/kota tidak melapor sama sekali. Ini mencerminkan rendahnya akuntabilitas kegiatan DAK Bidang pertanian. Kepentingan yang bermain di tingkat daerah turut mempengaruhi kebijakan DAK Bidang Pertanian. Politisi, anggota DPRD dan aparat birokrasi ditingkat daerah sering melakukan lobi-lobi politik diantara kelompok tersebut. Hal ini untuk mendapatkan dukungan politik dari institusi atau kelompok tertentu. Bahkan dalam beberapa hal, sangat mungkin terjadi kepala daerah memanfaatkan hal ini untuk mendapat dukungan DPRD dalam penyusunan anggaran belanja dan pendapatan tahunan yang merupakan pilar pembangunan. Perlu dicatat, lobi-lobi politik semacam ini sangat dekat dengan istilah money politics. Apalagi dalam prakteknya di Indonesia, nuansa-nuansa hubungan antara legislatif dan eksekutif tidak selalu ‘harmonis’.

Ketiga, terkait transparansi. Dalam Undang-Undang 33/2004 disebutkan bahwa DAK dialokasikan dalam tiga kriteria, yaitu kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis. Kriteria khusus memberikan ruang suatu daerah mendapat anggaran DAK Pertanian meskipun tidak memenuhi dua kriteria lainnya. Kriteria khusus yang didasarkan pada Indeks Karakteristik Wilayah menyebabkan ambivalensi dan standar ganda dalam pengalokasian DAK.

Sebagai ilustrasi, kriteria khusus yang sifatnya terbatas pada daerah rawan konflik, perbatasan, daerah terpencil dan lain-lain, bisa saja berkembang sesuai dengan hasil pembicaraan pemerintah daerah dengan DPR RI. Implikasinya, kriteria khusus dapat berkembang luas sehingga terkadang berimplikasi terhadap besarnya jumlah daerah yang memiliki kemampuan fiskal tinggi, namun tetap memperoleh DAK Bidang Pertanian. Oleh karena itu, UU 33/2004 mengamanatkan diterbitkannya sebuah Peraturan Pemerintah (PP) untuk mempertegas kriteria pengalokasian DAK. Akan tetapi, hingga saat ini PP yang dimaksud belum ada.

Hal seperti ini membuka ruang transaksional dan korupsi. Sama halnya seperti kasus wisma atlet yang melibatkan Nazarudin dkk, dugaan korupsi pembangunan universitas oleh Angelina Sondakh, alokasi penganggaran DAK Pertanian mengundang mafia anggaran untuk ambil bagian dalam proses penganggaran. Mafia dengan kemampuan dan kuasanya dapat ‘menggoalkan’ anggaran DAK suatu daerah dalam jumlah yang tinggi kemudian menerima ‘fee’ untuk hal tersebut.

Agenda Perbaikan

Diperlukan sebuah rekonstruksi kebijakan DAK Bidang Pertanian yang berbasis pada demand side. Sebuah pendekatan yang tidak hanya didasarkan pada otoritas Pemerintah Pusat, melainkan kepada pengorganisasian dan penguatan peran Pemerintah Daerah serta jaringan yang stabil antara institusi dan para petani di tingkat lokal. Pendekatan ini menggeser interaksi yang semula berorientasi terhadap kekuasaan menjadi pertukaran informasi, komunikasi dan persuasi.

Pemerintah Pusat perlu sesegara mungkin untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana yang dimaksud oleh UU 33/2004. Dimana didalamnya diatur mekanisme perencanaan dan pengalokasian DAK. Peraturan ini diharapkan dapat merealisasikan tujuan kedua dari kebijakan DAK sesuai yang dimaksud UU 32/2004. Peraturan Pemerintahharus mempertegas kriteria khusus dalam pengalokasian DAK Bidang Pertanian sehingga tidak lagi memberikan ruang transaksional

Untuk mengatasi permasalahan akuntabilitas kegiatan DAK Bidang Pertanian dapat dengan dua pendekatan; pertama, pemberdayaan aparatur negara melalui Penegakan hukum. Kedua, pemberdayaan masyarakat melalui dua hal, yaitu; (1) mengggunakan kelembagaan adat atau organisasi lokal petani untuk mensosialiasasikan kegiatan DAK Bidang Pertanian, mengawasi implementasi dan menjaga keberlanjutan kegiatan. (2) Memberdayakan organisasi masyarakat seperti LSM atau organisasi petani untuk menjadi watch dog dalam proses implementasi sehingga meminimaliasasi kebocoran dana dan perburuan rente.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun