Satu tahun sudah pemerintahan Prabowo berjalan, namun jalan menuju swasembada aspal masih gelap. Aspal Buton yang digadang sebagai cadangan emas hitam bangsa, tetap terabaikan. Rakyat Buton bertanya-tanya, apakah pemimpin mereka lupa janji kedaulatan yang pernah diucapkan? Diam yang berlarut-larut ini bukan lagi strategi, tetapi menjadi teka-teki. Apakah diam adalah pilihan, atau justru ketidakberanian?
Sejarah bangsa ini mencatat banyak pemimpin yang berani melawan arus. Namun Pak Prabowo justru memilih terus diam di hadapan potensi besar Aspal Buton. Diamnya membuat rakyat bertanya: apakah ada keberanian tersembunyi, atau sekadar kompromi yang dibungkus retorika? Satu tahun cukup lama untuk memberi sinyal jelas. Tetapi yang muncul justru kesunyian tanpa arah.
Aspal Buton seakan menjerit di balik tanahnya sendiri. Ia menunggu disentuh, digarap, dan dijadikan dasar kemandirian bangsa. Namun yang terdengar hanya suara sunyi dari istana. Apakah Pak Prabowo tahu bahwa setiap detik diamnya adalah detik yang menunda kedaulatan ekonomi? Ataukah diam ini bagian dari strategi yang rakyat tidak pernah mengerti?
Rakyat Buton bukan meminta belas kasihan. Mereka hanya menuntut hak atas sumber daya yang selama ini dipandang sebelah mata. Mereka tahu bahwa tanpa keberanian presiden, Aspal Buton akan terus terkubur. Diamnya Prabowo adalah beban psikologis bagi rakyat yang menanti. Sampai kapan mereka harus menunggu keberanian itu lahir?
Pak Prabowo sering bicara tentang nasionalisme dan kedaulatan. Namun dalam kasus Aspal Buton, kata-kata itu seolah kehilangan makna. Bagaimana mungkin bicara kedaulatan kalau impor aspal masih jadi pilihan utama? Bagaimana bisa bicara keberanian, jika diam jadi jawaban? Ironi ini membuat rakyat semakin bingung membaca arah kepemimpinan.
Satu tahun cukup untuk menilai arah sebuah pemerintahan. Apakah diam ini tanda Prabowo sedang menyiapkan langkah besar? Ataukah justru tanda bahwa janji kedaulatan hanyalah retorika belaka? Rakyat tidak bisa hidup dengan janji tanpa aksi. Sebab jalan berlubang tidak bisa ditambal dengan pidato.
Aspal Buton adalah ujian kepemimpinan yang nyata. Ia tidak bisa diselesaikan dengan wacana, tetapi butuh keputusan berani. Diam hanya menunda, tetapi masalah terus menumpuk. Apakah Pak Prabowo tidak sadar bahwa waktu tidak pernah menunggu? Diam di sini bukan emas, melainkan beban sejarah.
Kedaulatan bangsa tidak lahir dari pidato di podium internasional. Kedaulatan lahir dari keberanian mengelola sumber daya sendiri. Jika Aspal Buton saja diabaikan, bagaimana mungkin kita bicara Indonesia Emas 2045? Diamnya Pak Prabowo membuat visi itu tampak rapuh. Seperti mimpi besar yang dibangun di atas pasir rapuh impor aspal.
Rakyat semakin penasaran, apakah presiden mereka sungguh tahu Buton ada di peta NKRI. Kalau tahu, mengapa tidak bergerak? Kalau tidak tahu, maka itu adalah kelalaian besar. Diam hanya membuat misteri ini semakin dalam. Dan misteri selalu melahirkan tanda tanya tentang komitmen kepemimpinan.
Aspal Buton tidak butuh belas kasihan, ia butuh keberanian. Keberanian untuk menutup pintu impor aspal dan membuka pintu swasembada aspal 2030. Keberanian untuk menantang mafia impor aspal yang selama ini bermain di balik kebijakan. Keberanian untuk membuktikan bahwa janji kedaulatan bukan sekadar kata. Sayangnya, keberanian itu masih terbungkus diam.