Mohon tunggu...
Indrato Sumantoro
Indrato Sumantoro Mohon Tunggu... Pemerhati Aspal Buton.

Pemerhati Aspal Buton.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Paradoks Jalan Sejarah Kita: Aspal Buton dan Akal Sehat yang Hilang

27 September 2025   17:15 Diperbarui: 27 September 2025   17:08 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Delapan dekade merdeka, namun Indonesia masih rajin mengimpor aspal. Fakta ini menampar logika kemerdekaan yang kerap kita banggakan. Bagaimana mungkin negeri kaya sumber daya terus bergantung pada kapal asing untuk menambal jalannya sendiri? Ini bukan sekadar ironi, ini adalah kebodohan yang terus dibiarkan.

Di Pulau Buton, cadangan aspal alam menggunung bagai samudra hitam. Lebih dari 660 juta ton menunggu digali, setara ratusan tahun kebutuhan nasional. Tetapi setiap tahun miliaran dolar mengalir keluar untuk membeli aspal minyak dari luar negeri. Apakah ini bentuk kemerdekaan atau komedi sejarah?

Para pendiri bangsa dulu berjuang mengusir penjajah bersenjata. Kini penjajahan hadir dalam bentuk kontrak impor dan ketergantungan ekonomi. Bedanya, penindas kali ini berasal dari kebijakan kita sendiri. Bukankah itu artinya kita dijajah oleh bangsa sendiri?

Akal sehat seharusnya jadi kompas pembangunan. Namun kompas itu seolah sengaja dipatahkan di meja kebijakan. Pulau Buton tergeletak seperti permata yang dibiarkan berdebu. Sementara kapal tanker asing terus menyalurkan aspal impor tanpa henti.

Setiap kilometer jalan baru yang dilapisi aspal impor adalah monumen kegagalan berpikir. Kita menyebutnya pembangunan, padahal itu simbol ketidakmandirian. Rakyat melintas di atas jalan yang mengisyaratkan ketundukan pada pasar luar. Tidakkah ini mencederai makna kemerdekaan?

Teknologi pengolahan aspal Buton sudah tersedia dan teruji. Uji laboratorium menegaskan kualitasnya memenuhi standar internasional. Negara lain bahkan meliriknya dengan kagum. Mengapa justru kita yang menutup mata?

Jawabannya sering berbalut kata "efisiensi" dan "biaya." Namun angka-angka resmi menunjukkan sebaliknya: impor aspal lebih mahal, devisa tersedot. Logika ekonomi pun dibuat tumpul demi kenyamanan segelintir pemain lama. Akal sehat publik disulap menjadi statistik yang menipu.

Oligarki impor aspal hidup nyaman di balik kebijakan yang lesu. Selama keran impor terus terbuka, laba mereka terjamin aman. Kepentingan rakyat dan kedaulatan sumber daya hanya jadi slogan kampanye. Di sinilah wajah penjajahan baru menemukan bentuknya.

Presiden demi presiden telah melihat fakta yang sama. Janji berhenti impor aspal berkali-kali dilontarkan, lalu hilang bersama angin politik. Seolah kursi kekuasaan lebih berat daripada nurani. Bukankah ini tanda akal sehat yang telah lama menghilang?

Rakyat Buton menatap laut dengan sabar, menunggu keadilan yang tidak kunjung datang. Mereka bekerja menambang, berharap negara membuka mata. Peluh mereka justru menjadi saksi kesia-siaan kebijakan pusat. Apakah jerih payah itu harus terus dipermainkan?

Setiap rupiah yang dibayar untuk aspal impor adalah pengkhianatan terhadap pekerja lokal. Uang itu tidak kembali menjadi sekolah, rumah sakit, atau lapangan kerja. Ia hilang ke kantong negara lain dan segelintir importir. Inikah yang kita sebut pembangunan nasional?

Ironisnya, jalan-jalan yang membentang megah sering dijadikan simbol kebanggaan. Padahal lapisan hitamnya adalah bukti nyata ketergantungan. Kita merayakan peresmian, tetapi menutup mata pada jejak devisa yang bocor. Panggung seremonial menutupi luka kedaulatan.

Kita gemar bicara kedaulatan pangan, energi, dan pertahanan. Namun kedaulatan material infrastruktur jarang disinggung. Padahal jalan adalah nadi ekonomi bangsa. Mengabaikan aspal Buton berarti membiarkan urat nadi itu dipompa darah asing.

Anak-anak sekolah pun paham logika sederhana: gunakan yang ada sebelum membeli. Tetapi logika itu seolah tidak laku di ruang rapat kementerian. Apakah pendidikan tinggi justru melahirkan kebijakan yang rendah akal sehat? Pertanyaan ini menuntut jawaban, bukan pidato.

Delapan puluh tahun merdeka seharusnya cukup untuk berdikari di urusan aspal. Jika tidak sekarang, kapan lagi bangsa ini belajar mandiri? Setiap tahun menunda adalah tanda bahwa penjajahan mental masih terus bercokol. Kita terus menjajah diri sendiri tanpa rasa malu.

Sejarah kelak akan menulis bab yang memalukan: bangsa kaya aspal tetapi lebih memilih impor. Anak cucu akan bertanya mengapa kita begitu lamban memahami logika. Apakah karena takut kehilangan rente? Atau karena kita nyaman dijajah oleh sesama anak negeri?

Paradoks jalan sejarah kita bukan hanya tentang aspal. Ia cermin kehilangan akal sehat dan nyali keberanian. Selama swasembada aspal 2030 tidak terwujud, bayang-bayang penjajahan akan tetap terus menempel. Merdeka sejati hanya bisa lahir bila kita berani menambal jalan sendiri dengan sumber daya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun