Setiap rupiah yang dibayar untuk aspal impor adalah pengkhianatan terhadap pekerja lokal. Uang itu tidak kembali menjadi sekolah, rumah sakit, atau lapangan kerja. Ia hilang ke kantong negara lain dan segelintir importir. Inikah yang kita sebut pembangunan nasional?
Ironisnya, jalan-jalan yang membentang megah sering dijadikan simbol kebanggaan. Padahal lapisan hitamnya adalah bukti nyata ketergantungan. Kita merayakan peresmian, tetapi menutup mata pada jejak devisa yang bocor. Panggung seremonial menutupi luka kedaulatan.
Kita gemar bicara kedaulatan pangan, energi, dan pertahanan. Namun kedaulatan material infrastruktur jarang disinggung. Padahal jalan adalah nadi ekonomi bangsa. Mengabaikan aspal Buton berarti membiarkan urat nadi itu dipompa darah asing.
Anak-anak sekolah pun paham logika sederhana: gunakan yang ada sebelum membeli. Tetapi logika itu seolah tidak laku di ruang rapat kementerian. Apakah pendidikan tinggi justru melahirkan kebijakan yang rendah akal sehat? Pertanyaan ini menuntut jawaban, bukan pidato.
Delapan puluh tahun merdeka seharusnya cukup untuk berdikari di urusan aspal. Jika tidak sekarang, kapan lagi bangsa ini belajar mandiri? Setiap tahun menunda adalah tanda bahwa penjajahan mental masih terus bercokol. Kita terus menjajah diri sendiri tanpa rasa malu.
Sejarah kelak akan menulis bab yang memalukan: bangsa kaya aspal tetapi lebih memilih impor. Anak cucu akan bertanya mengapa kita begitu lamban memahami logika. Apakah karena takut kehilangan rente? Atau karena kita nyaman dijajah oleh sesama anak negeri?
Paradoks jalan sejarah kita bukan hanya tentang aspal. Ia cermin kehilangan akal sehat dan nyali keberanian. Selama swasembada aspal 2030 tidak terwujud, bayang-bayang penjajahan akan tetap terus menempel. Merdeka sejati hanya bisa lahir bila kita berani menambal jalan sendiri dengan sumber daya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI