Mohon tunggu...
Indrato Sumantoro
Indrato Sumantoro Mohon Tunggu... Pemerhati Aspal Buton.

Pemerhati Aspal Buton.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Aspal Buton: Tantangan Zaman atau Bukti Kita tak Pernah Belajar ?

25 September 2025   20:30 Diperbarui: 25 September 2025   20:28 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tantangan dan strategi aspal Buton. Sumber: jurnalmasyarakat.com

Delapan puluh tahun merdeka, namun Indonesia masih menambal jalan dengan aspal impor. Angka miliaran dolar mengalir deras keluar negeri setiap tahun seolah negeri ini miskin sumber daya. Padahal di Pulau Buton, cadangan aspal alam terbentang seperti samudra hitam tanpa tepi. Ironi ini menampar logika dan menantang akal sehat. Apakah ini sekadar tantangan zaman, atau cermin bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah?

Fakta cadangan 660 juta ton aspal Buton bukan kabar baru. Data ini sudah beredar di meja kementerian sejak puluhan tahun lalu. Teknologi pengolahan pun bukan rahasia lagi, sudah teruji dan dipakai negara lain. Namun kebijakan kita tetap berkiblat ke impor aspal, seolah terhipnotis pada aspal minyak luar negeri. Bukankah itu pertanda pelajaran lama terus diabaikan?

Presiden demi presiden berganti, janji swasembada aspal tidak pernah jadi kenyataan. Pidato lantang terdengar setiap periode, tetapi hanya menjadi arsip berita lama. Pak Jokowi sempat menabuh genderang stop impor aspal 2024, namun gaungnya meredup begitu saja. Kini Pak Prabowo memegang kendali, tetapi kebijakan yang sama tetap mandek. Sejarah seperti piringan hitam yang macet di nada kegagalan.

Jika kualitas aspal Buton diragukan, laboratorium internasional sudah menepis keraguan itu. Jalan-jalan uji coba membuktikan daya tahan dan standar globalnya. Namun dalih kualitas terus diulang di ruang rapat, seperti mantra untuk menenangkan nurani. Alasan yang sama terdengar seperti rekaman usang. Apakah pemerintah benar-benar buta atau sengaja menutup mata?

Setiap tahun, kapal tanker membawa aspal impor masuk pelabuhan. Bersamaan dengan itu, devisa negara melayang, lapangan kerja lokal tertutup. Penambang di Buton hanya bisa menatap laut, menyaksikan peluang emas lewat begitu saja. Ironi ini lebih dari sekadar kebijakan ekonomi, ini pengkhianatan terhadap akal sehat. Kita seolah rela dijajah oleh kebodohan sendiri.

Oligarki impor aspal menari di balik layar. Mereka paham bahwa setiap kontrak impor aspal adalah tambang laba tanpa resiko. Keuntungan mereka terjamin selama kebijakan tidak berubah. Kepentingan segelintir orang pun mengalahkan kepentingan bangsa. Di sinilah pelajaran paling pahit: kita membiarkan sejarah dikuasai para pedagang kepentingan.

Rakyat Buton bukan sekadar penonton, mereka adalah pemilik tanah kaya itu. Mereka menggali, menambang, dan menunggu kebijakan berpihak. Namun yang datang hanya janji dan kunjungan seremonial. Setiap kunjungan pejabat terasa seperti sandiwara politik. Mereka pulang membawa foto, bukan solusi.

Kita sering membanggakan kedaulatan pangan dan energi. Tetapi jarang menyebut kedaulatan infrastruktur, seolah aspal hanyalah remeh-temeh. Padahal jalan adalah urat nadi pergerakan ekonomi dan logistik. Tanpa jalan yang mandiri, kedaulatan lainnya hanya ilusi. Mengabaikan aspal Buton berarti menandatangani kontrak ketergantungan jangka panjang.

Anak-anak Buton tumbuh dengan cerita tentang kekayaan bumi mereka. Mereka belajar bahwa Indonesia merdeka agar bisa berdiri di kaki sendiri. Namun fakta di lapangan membantah pelajaran sekolah itu. Jalan-jalan di ibu kota justru menjadi monumen aspal impor. Bagaimana mereka bisa percaya pada buku pelajaran jika kenyataan begitu menyedihkan?

Setiap kebijakan yang menunda pemanfaatan aspal Buton adalah nada sumbang dalam simfoni bangsa. Kita menyanyikan lagu kemerdekaan sambil menari di atas ketergantungan. Nada itu memecah harmoni dan menampar nurani. Dunia melihat kita sebagai negara besar yang enggan menggunakan otaknya sendiri. Bukankah itu bukti kita tidak pernah belajar dari sejarah penjajahan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun