Kenapa Indonesia seolah gemetar mendengar kata swasembada aspal 2030? Pertanyaan ini seperti palu godam yang memecahkan topeng kedaulatan energi dan infrastruktur kita. Negeri yang mampu membangun kilang raksasa dan menaklukkan samudra justru ciut menghadapi kekayaan sendiri. Ironi ini bukan sekadar kebijakan lambat, melainkan mental ketergantungan yang terus mengakar.
Pulau Buton menyimpan cadangan aspal alam terbesar di dunia, namun negeri ini tetap menunggu kapal tanker impor. Ketakutan itu seolah diwariskan dari rezim ke rezim, seakan-akan mengelola kekayaan sendiri adalah dosa. Dalihnya selalu sama: teknologi, modal, dan pasar. Padahal, semua alasan itu sudah lama runtuh oleh fakta tak terbantahkan.
Para birokrat berdalih bahwa aspal impor lebih praktis, lebih "standar internasional." Padahal, yang mereka maksud adalah lebih nyaman bagi rantai rente dan para makelar. Ketakutan yang mereka bangun bukan tentang kualitas, tetapi tentang kehilangan komisi. Ketika kebijakan disandera kepentingan, kedaulatan hanya jadi poster di dinding.
Sejak puluhan tahun, Buton menunggu dengan sabar. Gunung-gunungnya menyimpan emas hitam yang siap diekstraksi. Sementara itu, APBN kita bocor untuk membeli aspal minyak dari luar negeri. Ketakutan yang terus dipelihara hanyalah cara untuk menutup aib kegagalan.
Argumen teknologi sudah tidak berlaku. Teknologi ekstraksi modern, ekonomis, dan ramah lingkungan telah hadir dan terbukti. Dunia luar saja tertarik, investor asing siap melirik. Jadi, siapa sebenarnya yang takut, teknologi atau para pemegang kuasa yang kehilangan celah keuntungan?
Modal? Itu pun alasan basi. Skema pembiayaan campuran, dana pensiun, dan investasi hijau sudah menunggu. Hanya butuh keputusan politik, bukan seminar tidak berkesudahan. Ketakutan soal modal hanyalah tirai asap bagi ketidakmauan.
Pasar? Lebih konyol lagi. Indonesia setiap tahun mengaspal ribuan kilometer jalan. Permintaan sudah ada di depan mata. Ketakutan tentang pasar hanyalah cara lain untuk mengatakan, "Kami malas mengambil risiko yang justru aman."
Ketika rakyat menuntut kedaulatan, jawaban yang datang hanya wacana. Target Swasembada Aspal 2030 dibiarkan menjadi jargon kementerian, bukan mandat nasional. Tanpa dekrit presiden, semua rencana hanyalah catatan pinggir. Di sinilah ketakutan itu menemukan tameng: kebijakan setengah hati.
Presiden Prabowo Subianto dikenal dengan citra pemimpin tegas. Namun, hingga kini, tidak ada instruksi langsung untuk menutup keran impor aspal dan memacu hilirisasi Buton. Diamnya kepala negara menimbulkan tanda tanya besar. Apakah istana pun ikut takut pada bayangan oligarki aspal?
Setiap hari tanpa keputusan adalah hari di mana devisa terbuang sia-sia. Setiap kilometer jalan yang dilapisi aspal impor adalah bukti kegagalan total keberanian. Rakyat menonton, sementara elit berunding tanpa akhir. Inilah ketakutan yang menua bersama bangsa.
Buton sudah menyiapkan jawabannya. Cadangan aspal alam yang melimpah menunggu tangan-tangan pekerja lokal. Teknologi bersih dan efisien telah diuji di berbagai negara. Ketakutan bahwa kita belum siap adalah kebohongan yang terus dipelihara.
Bayangkan dampaknya bila Buton menjadi pusat hilirisasi aspal nasional. Lapangan kerja baru, devisa terselamatkan, dan Indonesia berdiri tegak sebagai pemilik jalan yang sesungguhnya. Tidak ada alasan teknis yang bisa menghalangi, kecuali ketakutan politik. Dan ketakutan politik hanya bisa dilawan dengan keberanian politik.
Ketika pemimpin daerah berani mendorong petisi, suara nasional justru sunyi. Publik sibuk pada isu receh media sosial, lupa bahwa kedaulatan jalan adalah tulang punggung ekonomi. Ketakutan kolektif ini adalah penyakit mental bangsa. Penyembuhannya hanya satu: kesadaran bahwa kita bisa.
Swasembada aspal bukan hanya proyek infrastruktur. Ia adalah ujian kemerdekaan sejati di abad ke-21. Kita pernah menolak penjajahan bersenjata, mengapa kini tunduk pada penjajahan aspal? Ketakutan ini menyingkap rapuhnya nasionalisme praktis kita.
Solusinya sederhana: tetapkan Buton sebagai pusat industri aspal nasional dengan mandat presiden. Dorong investasi, pastikan pembiayaan, dan wujudkan Swasembada Aspal 2030 sebagai keputusan politik, bukan sekadar target teknokrat. Semua prasyarat ada di depan mata. Kita hanya menunggu keberanian di puncak kekuasaan.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya, hanya kekurangan nyali. Ketakutan itu sama sekali tidak beralasan karena jawabannya sudah terang-benderang ada di Pulau Buton. Setiap tahun kita menunda, setiap tahun pula kita membayar harga ketakutan. Para generasi mendatang akan menagih pertanggungjawaban.
Waktunya menutup buku ketakutan dan membuka bab kedaulatan. Presiden harus berbicara tegas, bukan memberi janji samar. Buton telah menyiapkan karpet hitam kemerdekaan infrastruktur. Jika sekarang pun kita terus ragu, sejarah akan menulis: Indonesia memiliki kekayaan aspal tak tertandingi, tetapi mengapa Presidennya sendiri yang gentar memanfaatkannya?.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI