Kenapa Sabu-Sabu Jadi Masalah Serius?
Indonesia saat ini tengah menghadapi krisis moral yang kian mengkhawatirkan, salah satu pemicunya adalah penyalahgunaan zat adiktif jenis metamfetamin atau yang lebih dikenal sebagai sabu-sabu. Zat psikoaktif golongan I ini tidak hanya merusak secara fisik, tetapi juga mengikis daya nalar dan nilai kemanusiaan penggunanya. Penelitian oleh Wardaningtyas et al. (2020) yang dilakukan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta menunjukkan bahwa metamfetamin merupakan narkotika yang paling sering digunakan oleh pasien rehabilitasi, dan meskipun tidak selalu menunjukkan hubungan signifikan antara lama pemakaian dengan gejala psikotik, tetap terlihat adanya kecenderungan gangguan mental pada pengguna aktif.
Secara global, temuan dari meta-analisis terhadap 149 studi oleh McKetin et al. (2019) mengungkapkan bahwa penggunaan metamfetamin yang dalam studi tersebut diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok amfetamin berhubungan dengan peningkatan risiko psikosis (odds ratio 2,0), perilaku kekerasan (OR 2,2), dan kecenderungan bunuh diri (OR 4,4). Hal ini sejalan dengan temuan studi retrospektif di Taiwan oleh Huang et al. (2022), yang secara eksplisit meneliti pengguna metamfetamin ilegal dan menemukan bahwa mereka memiliki risiko psikosis lima kali lebih tinggi dibanding populasi non-pengguna. Namun, angka tersebut dapat menurun signifikan jika pengguna mengikuti program rehabilitasi. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan sabu-sabu bukanlah masalah sepele atau sebatas kriminalitas belaka, melainkan sebuah tragedi sosial yang menghantam jantung kesehatan mental masyarakat dan merusak tatanan moral bangsa. Maka dari itu, sudah saatnya pendekatan terhadap isu ini digeser ke arah yang lebih menyeluruh, manusiawi, dan berlandaskan pada data ilmiah.
Melihat Sabu-Sabu Lewat Opini dan Fakta Ilmiah
Penyalahgunaan metamfetamin seharusnya tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran hukum, melainkan sebagai gejala dari krisis sosial yang lebih dalam. Sabu-sabu hadir dalam masyarakat sebagai respons atas tekanan ekonomi, lemahnya kontrol diri, dan minimnya edukasi mengenai bahaya zat adiktif. Banyak pengguna bukan pelaku kriminal atas kesadaran penuh, melainkan korban dari lingkungan yang permisif terhadap narkoba. Sebagai bukti, Badan Narkotika Nasional (BNN) melaporkan pemusnahan lebih dari 115 kg sabu-sabu dari 13 kasus berbeda yang diungkap sepanjang tahun 2023, menunjukkan masifnya peredaran zat ini di Indonesia (DetikNews, 2023).
Dari segi dampak biologis, sabu-sabu berperan sebagai neurotoksin yang merusak sistem saraf pusat. Penelitian oleh Jayanthi et al. (2004) menunjukkan bahwa paparan metamfetamin menyebabkan kematian sel neuron (apoptosis), degenerasi terminal dopaminergik, dan stres oksidatif tinggi di otak, yang berkontribusi pada penurunan fungsi memori dan kendali impuls. Hal ini sejalan dengan temuan Loftis dan Janowsky (2014) yang menjelaskan bahwa penggunaan metamfetamin memicu peradangan kronis melalui aktivasi sel mikroglia dan astrosit, serta mengganggu integritas blood--brain barrier. Gangguan ini dapat mempercepat munculnya gangguan psikotik, paranoia, serta instabilitas emosional yang umum ditemukan pada pengguna kronis.
Di sisi layanan kesehatan, penyalahgunaan sabu menambah beban signifikan pada sistem rehabilitasi. Menurut Standar Pelayanan Rehabilitasi dari Badan Narkotika Nasional (2016), program rehabilitasi pengguna metamfetamin umumnya memerlukan waktu rawat inap selama tiga bulan untuk fase awal, dan bisa diperpanjang hingga enam bulan termasuk program pascarehabilitasi. Rahami (2019) juga menyebut bahwa tanpa fase rehabilitasi lanjutan, tingkat kekambuhan bisa mencapai 90%, namun bisa ditekan menjadi 30% jika ada pendampingan lanjutan. Sayangnya, fasilitas seperti ini masih belum merata dan belum cukup menjangkau wilayah dengan kasus tinggi. Banyak mantan pengguna kembali terjerumus karena akses ke layanan ini sangat terbatas dan minimnya dukungan sosial pascarehabilitasi. Ini membuktikan bahwa masalah sabu-sabu tidak bisa diselesaikan hanya melalui penegakan hukum, melainkan juga harus didukung oleh pendekatan medis dan sosial yang berkelanjutan dan terintegrasi.
Apa yang Bisa Dilakukan untuk Mengatasinya?
Menghadapi permasalahan sabu-sabu memerlukan pendekatan yang terintegrasi antara penegakan hukum, edukasi, layanan kesehatan, dan dukungan sosial. Langkah awal yang efektif adalah memperkuat edukasi preventif berbasis bukti di sekolah dan komunitas. Penelitian oleh Hansen dan McNeal (1999) menunjukkan bahwa program penyuluhan yang hanya bersifat normatif, seperti memberi larangan atau informasi sepihak, cenderung kurang efektif dalam mengubah perilaku remaja. Sebaliknya, intervensi yang berbasis pada penguatan keterampilan kognitif dan emosional seperti kemampuan mengelola emosi, berpikir kritis, dan memecahkan masalah terbukti lebih berhasil dalam mencegah penyalahgunaan zat di kalangan remaja.
Selanjutnya, layanan rehabilitasi yang berkualitas dan merata perlu diperluas, tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga hingga ke wilayah pinggiran. Model rehabilitasi berbasis komunitas yang melibatkan keluarga, tokoh masyarakat, dan lingkungan sosial terbukti efektif dalam menekan kekambuhan dan meningkatkan keberhasilan pemulihan. Studi Methamphetamine Treatment Evaluation Study (MATES) oleh McKetin et al. (2012) menunjukkan bahwa peserta program rehabilitasi residensial berbasis komunitas mengalami penurunan signifikan dalam penggunaan sabu-sabu, sekitar 33 dari 100 peserta berhenti menggunakan setelah tiga bulan, meskipun angka ini menurun menjadi 14 dari 100 setelah satu tahun. Temuan ini menunjukkan pentingnya kesinambungan layanan. Oleh karena itu, selain terapi medis, program rehabilitasi sebaiknya mencakup konseling psikososial, pelatihan keterampilan hidup, dan pendampingan pascarehabilitasi yang berkelanjutan, agar mantan pengguna siap kembali menjalani kehidupan produktif di masyarakat.