Mohon tunggu...
Indra Purnomo
Indra Purnomo Mohon Tunggu... Freelancer - Menanam cinta di setiap langkah

Meninggalkan dan ditinggalkan adalah hal yang menyakitkan. Namun jangan khawatir akan hal tersebut, kita dapat bertemu tanpa meminta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semestinya Dapat Hidup Secara Damai

21 Juli 2019   11:31 Diperbarui: 21 Juli 2019   11:39 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kau ingin membantu kita?" tanya Rohim kepada saya.

"Iya, tentu," jawab saya.

Rohim mengajak saya untuk mengambil makanan dan minuman di rumah makan "Bu Pita."

Selama saya shalat jumat di masjid Nurul Islam baru kali ini ada hidangan nasi telur dan teh manis untuk jamaah.

Pada saat yang bersamaan rasa bahagia membalut hati saya. Gembira sekali ketika melihat semangat teman-teman peduli akan kegiatan yang diselenggarakan oleh masjid. Sebelumnya malah hanya merokok dan minum-minum saja di depan masjid. Tapi sekarang tidak seperti itu.

Adzan jumat berkumandang. Tongkat khutbah sudah bersandar di samping mimbar. Makanan dan minuman juga sudah berjejer rapi di atas meja depan teras masjid. Para jamaah bergegas mengisi shaf yang kosong. Rohim berdiri dan mulutnya mendekati mikrofon. Segera ia mengumandangkan lafadz qomat. Khatib menaiki mimbar dan mengucapkan salam kepada makmum.

Sepertinya suara khatib jumat kali ini tidak asing di telinga saya. Benar saja, ia adalah Fikar, teman semasa kecil yang tinggal hanya beberapa jarak dari rumah saya. Semasa kecil, Fikar merupakan salah satu teman akrab yang kerap mencari masalah di berbagai tempat. Ia gemar tawuran. Bahkan ia juga pernah berkelahi dengan tetangganya hanya karena tidak diajak untuk minum-minum anggur di depan masjid.

Siang itu Fikar tampak beda sekali. Sangat beribawa. Namun, ketika sudah masuk di pertengahan ceramah sekelebat saya terganggu dengan suaranya yang berat itu.

"Kafir, kafir, mereka kafir," ucap Fikar dengan suara lantang.

Fikar terus berteriak kafir dan menyudutkan orang-orang yang berbeda pilihan politik dengannya. Aneh sekali.

"Takbir, Takbir," lanjut Fikar, matanya berkeliaran menatap makmum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun