Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bersiaplah Pebisnis Warnet Bernasib Sama dengan Wartel

12 Juli 2020   16:20 Diperbarui: 14 Juli 2020   16:53 4535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.COM / Rizky C Septiana

Di era 1990-an hingga awal 2000 masih mudah menemukan usaha Warung Telepon (Wartel) di sekitar kita. Bahkan dulu saya pernah mengantri di Warnet hanya untuk menelpon keluarga di luar pulau.

Kini perkembangan telepon seluler telah menjadi penyebab utama tumbangnya usaha Wartel. Ini karena komunikasi lebih praktis dan biayanya pun lebih efisien dengan adanya layanan pesan instan.

Satu persatu usaha Wartel harus gulung tikar dan kini saya tidak pernah melihat usaha Wartel selama tinggal di berbagai kota. Kalaupun ada hanya sebatas plang nama usaha yang belum sempat diturunkan.

Pengusaha Warung Internet (Warnet) pun pernah mengalami masa kejayaan. Tahun 2007 ke atas mulai banyak Warnet yang dibuka khususnya di area sekolah atau kampus. 

Ini karena pangsa konsumen mereka adalah pelajar/mahasiswa yang membutuhkan informasi melalui internet hingga sekedar melakukan aktivitas main game.

Saya teringat dulu saat Facebook tengah populer, saya rela tiap hari ke warnet hanya untuk update status, ngobrol via pesan FB, hingga membaca dan membalas postingan teman.

Ketika muncul banyak permainan online, Warnet mulai dipenuhi pengunjung dari usia bocah SD hingga dewasa. Jangan kaget ketika asyik berinternet ria tiba-tiba mendengar suara teriakan pemain game online.

Saya rasa sahabat Kompasiana juga pernah merasakan hal ini ketika berada di Warnet.

Kini saya lupa kapan terakhir berkunjung ke Warnet. Saya hanya ingat sekitar tahun 2016 saat saya tinggal di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ada kondisi saya harus mengirimkan berkas via email sedangkan saat itu hari Minggu.

Saya berkeliling seharian namun tidak menemukan Warnet. Padahal saat saya di Malang, Warnet masih mudah dijumpai. Cukup ke area sekolah atau kampus pasti akan ketemu minimal 1 Warnet.

Ironisnya ketika kita tinggal di kota maju seperti Jakarta atau kota kecil, keberadaan Warnet mulai berkurang. Saat ini ketika saya tinggal di Kota Pasuruan, Jawa Timur. Saya hanya menemukan 2-3 Warnet selama ini.

Mungkinkan pengusaha Warnet akan bernasib sama dengan Wartel di kemudian hari?

Saya melihat potensi itu ada dengan melihat beberapa hal yang membuat masyarakat mulai meninggalkan Warnet sebagai tempat berinternet atau bermain game online.

Kemajuan seluler didukung layanan provider seakan menjadi penyebab utama mulai bergesernya minta masyarakat dari Warnet. Menguntip data E-Marketer yang dari situs Kominfo, pengguna aktif smartphone di Indonesia mencapai 100 juta pengguna.

Padahal jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 250 juta. Artinya ada 1 orang pengguna smartphone diantara 3 orang (pembulatan dari 2,5 orang).

Saya tidak heran melihat data ini mengingat anak kecil yang masih balita saja sudah banyak yang sudah diberikan smartphone atau setidaknya bisa menggunakan smartphone. 

Perang tarif antara provider kartu perdana juga menjadi pelengkap masalah ini. Bayangkan antara provider kartu saling menawarkan tarif paketan internet yang super murah. Bahkan ada yang memberikan bonus paket YouTube, sosial media hingga tambahan bonus pada tengah malam. 

Saya biasanya untuk internet menggunakan paketan 5 GB seharga Rp 50.000 dan bisa digunakan untuk sebulan. Harga ini menurut saya murah.

Bayangkan dulu saya internet setiap hari di Warnet ambil paketan 2 jam Rp.5.000 maka sebulan saya habiskan Rp 150.000. Kini saya bisa internetan kapanpun dan di manapun dengan biaya lebih murah.

Kemunculan modem hingga layanan WiFi menurut saya ikut berkontribusi masyarakat enggan untuk ke Warnet lagi. Dulu saat ada modem, saya mulai mengurangi intensitas ke Warnet karena lebih praktis.

Ketika ingin internetan, saya cukup hidupkan laptop, pasang modem dan mulai internet. Sedangkan jika ke warnet, saya harus berjalan kaki dulu ke Warnet. 

Jika pergi dengan motor maka akan ada biaya parkir,kemudian saat haus dan lapar kita juga akan mengeluarkan uang tambahan buat beli sekedar air mineral atau teh botol dan semangkuk mie goreng dengan telor. Pengeluaran semakin membengkak.

Keberadaan WiFi semakin membuat orang berpikir dua kali untuk ke Warnet. Kini banyak area umum seperti cafe, tempat makan, perpustakaan, hingga area umum telah dipasang layanan WiFi.

Beberapa pengelola usaha bahkan menyediakan layanan WiFi gratis bagi pengunjung. Ini membuat orang tidak perlu ke Warnet hanya untuk sekedar internetan.

Saya sering nongkrong di cafe dekat rumah. Cukup pesan teh hangat harga Rp. 3.000 sudah bisa menggunakan layanan internet seharian. Padahal Rp. 3.000 di Warnet mungkin hanya layanan sejam.

Jangan heran cafe atau tempat usaha yang menyediakan layanan WiFi gratis justru dipenuhi pengunjung. Ini karena daya tarik untuk memanfaatkan layanan internet gratis yang menjadi salah satu tujuan mereka.

Aturan bagi pengunjung warnet pun menjadi kekurangan sendiri. Ada Warnet yang melarang pengunjung untuk merokok, makan, atau minum karena akan membuat kotor. Kemudian larangan membuat gaduh serta bilik warnet hanya maksimal 2 orang membuat pengunjung merasa dibatasi.

Suasana ini berbeda ketika kita internet di Warkop yang tersedia fasilitas WiFi. Kita bisa duduk ramai-ramai, internet sambil rokokan, minum kopi dan makan. Bahkan berteriak saat main game online pun dianggap wajar. Kenyamanan juga menjadi pertimbangan bagi pencari internet.

Padahal untuk membuka usaha Warnet membutuhkan modal yang tidak sedikit. Harga komputer, peralatan dan bilik ruang saja bisa mencapai 5 juta/bilik komputer. 

Belum lagi biaya sewa tempat yang bisa jutaan per bulan dan biaya paket internet yang tidak murah. Setahu saya pengelola internet biasanya menggunakan paket internet untuk bisnis/kantor yang harga paketannya bisa 1jutaan/bulan. 

Ketika pengunjung kini hanya hitungan jari serta lebih banyak lenggang. Otomatis bisa saja biaya operasional lebih besar dibandingkan pemasukan. Ini ditambah komputer merupakan barang elektronik yang memiliki batas usia sekitar 5 tahunan dan membutuhkan perawatan yang berkala.

Pengelola Warnet pun sudah berdarah-darah menjalankan usaha ini. Berbagai promo dan program dilakukan. Ada Warnet yang menerapkan paket internet dimana semakin lama jam internet maka semakin murah. 

Pernah saya lihat Warnet yang memasang paket 10ribu untuk 8 jam. Nilainya murah tapi tidak banyak yang mengambil paket ini. Meskipun murah, pengelola sudah mengkalkulasikan subsidi silang karena biasanya keuntungan dari cemilan, minuman atau usaha kecil-kecilan untuk menutupi paket internet tersebut.

Pebisnis Warnet sepertinya sadar bahwa daya ekonomi masyarakat mulai meningkat dimana kini smartphone, laptop ataupun komputer bukan lagi kebutuhan tersier atau peralatan mewah.

Ketika masyarakat sudah mampu membeli gadget yang mendukung layanan internet maka usia usaha Warnet hanya tinggal menunggu waktu. Sudah banyak usaha warnet yang memilih beralih ke usaha lain atau tumbang di tengah jalan karena tidak mampu bersaing di tengah kemudahan jaman.

Sungguh ironis memang tapi inilah realita hidup. Semakin berkembangnya teknologi dan meningkatkan kemampuan finansial masyarakat maka akan muncul gaya hidup baru dan mematikan kebiasaan lama.

Wartel tumbang karena perkembangan smartphone, Warnet tumbang karena layanan internet provider dan WiFi yang lebih murah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun