Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Netralkan Api, Isilah Carano

22 Oktober 2020   13:28 Diperbarui: 22 Oktober 2020   13:39 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alang Babega. Dokumen Pribadi

Butuh waktu lama bagi saya guna meloloskan permintaan ini. Yakni, menulis tentang Nasrul Abit dan Indra Catri. Saya terikat dengan seluruh peraturan organisasi dalam tubuh Partai Golkar. Apalagi kedudukan saya adalah Wakil Koordinator Wilayah Sumbar dalam Badan Pengendalian dan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Golkar.

Saya adalah kaki dan tangan Bappilu Partai Golkar untuk, dari dan oleh Sumbar. Keluar juga bahasa saisuak khas Bapak Haji Harmoko. Dulu, hanya sekadar hafalan dalam Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).  

Apa yang saya lakukan belum apa-apa dalam program menang pilkada 2020. Jalan masih seterjal jalur pendakian dari Malalak menuju Batu Palano. Kejauhan tentu bicara terkait the champion of general election in 2024.

Dari sisi span of control sama sekali belum berjalan. Struktur organisasi baru di tingkat pusat. Bappilu tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota belum terbentuk. 

Rapat koordinasi teknis sedang berjalan guna pembentukan Bappilu dan Badan Saksi Nasional secara bergelombang. Bappilu tingkat pusat mengirimkan pimpinan divisi ke provinsi-provinsi yang sudah siap melaksanakan.

Empatbelas pilkada di Sumbar, satu di tingkat provinsi dan tigabelas di tingkat kabupaten -- kota tentulah padat. Hanya tersisa enam pilkada lagi. Tidak mungkin menghelat Rakornis dengan segera di Padang. 

Sebagian besar daerah belum menggelar Musyawarah Daerah. Terdapat sejumlah ketua yang perlu dievaluasi dan diganti.  guna memilih pimpinan, menyusun program kerja, hingga rekomendasi berupa pernyataan politik. Tentu, konsolidasi internal menjadi prioritas. Plus peremajaan atau penumbuhan tunas-tunas beringin yang baru.

Pun sebaliknya, saya menyediakan bahu dan kepala kepada seluruh kader Partai Golkar di Sumbar guna "dititi" ke Bappilu. Silakan injak bahu saya, guna menggapai siapapun yang dianggap orang Pusat, termasuk Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto. 

Kalau terdapat pesan yang serius, lewat mekanisme yang formal atau informal, tentu saya segera komunikasikan dengan pihak terkait. Kesulitan terbesar selama ini, tokoh-tokoh daerah berseliweran ke Jakarta, sementara saya tidak mendapatkan informasi apapun.

Idealnya, sebagai Wakil Koordinator Provinsi Sumbar, saya menjadi semacam "konsulat politik" bagi kader-kader Partai Golkar asal Sumbar di Ibukota Negara.  Tentu tak terbatas hanya di lingkungan internal Partai Golkar. 

Tetapi juga menggapai elemen-elemen penyelenggara negara, baik legislatif, yudikatif, apalagi eksekutif. Itu kalau saya dianggap memiliki kompetensi dalam "menembus" blokade diplomasi politik rakyat Sumbar di pusat. Sebagai pimpinan inti dari relawan pemenangan Jokowi -- Ma'ruf Amin, Inshaa Allah saya punya informasi tentang pintu-pintu masuk penyelenggara negara yang hendak dituju.

***

Lama menunggu yang lain, ternyata tidak ada tegur-sapa. Lebih terang lagi, ketiga pasangan yang lain. Diluar Nasrul Abit dan Indra Catri (NA-IC). Sungguh, lillahi ta'ala, ketika saya bereaksi terhadap keputusan Relawan Alang Babega Kota Pariaman mendukung NA-IC, saya tahu dari media. 

Walau, hubungan saya begitu dekat dengan mereka. Semula, saya ingin konsolidasi virtual dengan pasangan yang diusung Partai Golkar -- PKB -- Partai Nasdem.

Tetapi, reaksi terhadap Relawan Alang Babega berlebihan. Sikap saya, tidak ada perwira atau komandan perang yang salah. Yang keliru, jenderal yang memegang tongkat komando. 

Sikap saya, melindungi relawan yang sudah tujuh tahun bertungkus-lumus bersama. Sebab, saya melihat ke depan. Ketika usia saya menua, mereka menjadi dewasa. Saya tahu betul hukuman apa yang diberikan oleh pengadilan sejarah, ketika seseorang yang terjun ke ranah politilk, tak punya hati kepada kalangan muda.

Saya tentu punya penilaian terhadap Buya Mahyeldi, Uda Mulyadi, atau Kanda Fakhrizal bersama pasangan masing-masing. 

Dalam hubungan keluarga, tak mungkin saya menghindar dari Mamanda Ali Mukhni, Bupati Padang Pariaman yang maju menjadi pasangan Uda Mulyadi. Dalam soal keikhwanan (brotherhood), alangkah tercelanya saya jika mengabaikan Buya Mahyeldi.

Khusus Mahyeldi, saya merasakan betul bagaimana perhatiannya kepada pesisir, nelayan, dan samudera. Berkali-kali saya menemani sejumlah pejabat ke Sumbar dalam hubungannya dengan kelautan, Mahyeldi selalu hadir. 

Baik ketika bersama dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Syarif Cicip Soetarjo, Ketua BPK RI Rizal Djalil, sampai pejabat struktural lainnya, 

Sebagai Panitia Seleksi Pejabat Tinggi Madya dan Pejabat Tinggi Pratama selama satu setengah tahun di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, saya selalu tekankan tentang pentingnya dorongan program dan anggaran ke laut Sumbar itu.

Saya sempat "mencimeeh" kehadiran Mahyeldi ketika ikut "membersihkan" karang-karang yang "dipercaya" sebagai Kapal Malin Kundang.

"Lihat itu, bagaimana seorang alim seperti Buya Mahyeldi, ikut mengangkut pasir yang masuk kategori bid'ah. Tidak ada satupun kitab suci yang menyebut bahwa manusia bisa berubah menjadi batu," begitu cimeeh saya.

Namun, cimeeh itu sekaligus protokol tetap saya guna menyiarkan kepedulian seorang Mahyeldi atas pantai, pasir, pesisir, laut dan segala macam isinya. Bahkan dengan cara "menyuruk" dan "memanggul" soal-soal kebid'ahan sebagai sarang paling menyenangkan bagi mitologi berkembang pesat. 

Seperti di laut Selatan Jawa, mitologi itu berubah menjadi sesembahan dan ketundukan dalam bentuk sesajen. Mahyeldi melakukan secara berbeda, langsung berhadapan dengan bukti hitam di atas putih. Karang di batas pasir.

***

Dan begitu seterusnya. Saya tentu bisa bercerita tentang yang lain. Padahal, dari tadi maksud hati tetap fokus kepada NA-IC. Jangan sampai saya menyebut juga nama-nama lain. Bisa sangat panjang tulisan ini.

Atau, barangkali pandangan saya tidak diperlukan, saya tentu legowo saja. Atau saya saja yang merasa ongeh, serasa terbayang lagu-lagu tahun 1970an tentang Pandang-Pandangan.

Kalau hanya bersifat pribadi, tidak penting juga bagi saya menyampaikan pikiran. Apalagi, saya tidak punya hak pilih. Hanya saja, individualisme sudah lama pudur dalam kolektivitas di Minangkabau. Saya punya Mamak, Apak, Ungku, Inyiak, Gaek, Yawo dan sebutan lain di jajaran laki-laki.

Salapan minggu lagi. Warga Sumatera Barat secara umum, atau urang Minangkabau secara khusus, bakal menyoblos satu dari empat pasang Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur periode berikut. 

Kalau baliuang alah maarah ka mato kaki, tasanda pulo di tabiang nan banapa, iyo sipak cindaku tapaso dipakai. Suko ndak suko. Nio ndak nio. Coblos sajo salah satunyo.   

Sejauh yang bisa diikuti, terlalu banyak hoaks menyembur. Kampanye hitam yang merusak keindahan demokrasi di Minangkabau. Bukan saja indah, tapi juga ksatria. Berjiwa Hang Tuah. Berani berhadap-hadapan muka dalam debat di gelanggang. 

Tak hendak sembunyi di balik rumpun ilalang. Siapapun yang berbuat curang, tanah babigu Minangkabau bakal menghukumnya. Bukan kuda gumarang yang datang, tapi jilatang. Ini cara saya mengutuk bergaya si pahit lidah. Tentu, bukan dengan mulut berkumbah yang bisa berubah menjadi nanah.

Mentalitas pemimpin mayoritas etnis Minangkabau adalah sosok yang seperti itu. Atau, hadapkan ke situ. Atas nama tugas dan tanggungjawab, berani berhadapan dengan apapun. 

Lahir dan batin. Demi marwah orang Minang, dalam sisa bara api, berangkat ke Papua untuk menenangkan hati perantau di sana. Api padam, carano diisi. Limbago dituang.

Pasangan Nasrul Abit -- Indra Catri berdasarkan standar yang paling bisa dipertanggung-jawabkan, berada pada titik itu. Analisa SWOT atas Sumatera Barat pun seperti aur dengan tebing. Masalah-masalah yang ada di Sumatera Barat, baik antar kabupaten dan kota, tidak bisa lagi diselesaikan dengan perlombaan bersilat lidah sambil bergumam.

Salah besar jika Minangkabau hanya mengandalkan sisi intelektualitas semata dari para pemimpin. Lebih keliru lagi, jika merasa bangga sudah berhasil "membully" seseorang di media sosial menggunakan akun anonim.

Kalau perlu, segera lupakan Bung Hatta!

Jangan ingat lagi Bung Syahrir!

Kuburkan jauh-jauh buku-buku Tan Malaka!

Sadarkah tuan-tuan dan puan-puan, betapa banyak nama sosok yang disebut intelektual Minang itu, hampir dan sedikit sekali berpikir atau berbuat untuk ranah Minang. Kiprah mereka kebanyakan di rantau. Pulang kampungpun barangkali tak sempat.

Berilah sambutan yang hangat kepada mereka yang kembali. Baik di masa masih muda. Atau bisa saja ketika menempuh usia menjelang ufuk. Mereka yang kembali adalah mereka yang benar-benar memasuki lumpur atau kubangan itu. Dan mereka segera tahu bahwa kerbau di Minang tak digunakan untuk berpolitik, apalagi politik peperangan!

Dan tidak perlu seabrek gelar ketika ada yang kembali dan hendak berbuat. Apalagi gelar akademik. Buat apa? Kan bukan ajang skala kampus?

Tapi, jika mereka balik membawa lagi sejumlah jurus ilmu silat asal Minang yang hilang dibawa pendekar-pendekar masa lalu, justru jadikan mahaguru. 

Kependekaran dan kepandekaan justru membuat siapapun takut berhadapan dengan orang Minang, terutama di rantau. Para penjahat atau preman dari suku lain bakal berpikir berkali-kali, sebelum menantang anak-anak Minang berkelahi.

Kependekaran Si Midun jauh lebih diingat, ketimbang apa gelar akademik Sandy Nayoan. Ketika bertemu dalam sebuah acara penjurian organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan di Kementerian Pemuda dan Olahraga, saya lebih senang berpose dalam posisi bermain silat dengan Sandy, ketimbang berdiskusi tentang Materialisme, Dialektika dan Logika.

Orang Minang tidak punya cara atau siasat guna menyerang dari belakang. Datang tampak muka. Pulang kelihatan punggung. Mau memintas orang hanyut? Pergi ke hulu, bukan ke hilir. Bagaimana mau menyerang, jika sikap ofensif.

Nasrul Abit punya sisi kependekaran itu. Betul, NA terlebih dahulu masuk menjadi Pegawai Negeri Sipil di Lampung, sebelum melanjutkan studi di Universitas Lampung. Lampung dalam tahun perantauan Nasrul adalah kisah suku-suku pemberani. Entah asal Banten, Bali, Bugis, atau Minang, sama-sama punya ilmu bela diri.

Nah, biar nanti saya elaborasi lagi. Sudah kepanjangan.

Jakarta, 22 Oktober 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun